Pengantar:
ART GISH, PEJUANG PERDAMAIAN YANG "KAFFAH"
Oleh : Putut Widjanarko
Hari itu, di sebuah Jumat di tahun 2003, beredar kabar di masyarakat Muslim di Athens,
Selama kurang lebih enam tahun tinggal di Athens untuk menempuh pendidikan di Ohio University antara 2001-2007, saya cukup sering ngobrol dengan Art. Biasanya saat-saat setelah shalat Jumat, atau kesempatan lain ketika buka puasa bersama dan shalat tarawih. Beberapa kali saya mengadakan janji berjumpa dengannya di Alden Library, perpustakaan universitas, untuk mengobrol. Lelaki berjenggot tebal dan murah senyum ini memang enak diajak ngobrol.
Art tumbuh besar dalam lingkungan gereja yang menganut paham pasifis atau paham mutlak anti-kekerasan. Paham ini menolak segala bentuk kekerasan. Dia telah aktif dalam kegiatan perdamaian selama 50 tahun, dan ikut terlibat dalam gerakan pembelaan hak-hak sipil serta bekerja bersama Martin Luther King, Jr. Art juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan anti-Perang Vietnam. Setiap Senin, dia melakukan peace vigil selama satu jam di depan gedung wali kota. Sering dia hanya sendirian, atau bersama istrinya, Peggy Gish, kalau yang bersangkutan juga sedang tidak keluar kota. Mereka berdiri di depan gedung wali kota, menghadap ke jalan, dan memegang poster. Isunya macam-macam, yang intinya mengenai perdamaian. Suami-istri Gish telah melakukan hal ini selama 25 tahun, tanpa henti dengan teguh, setiap Senin, kecuali jika mereka sedang di luar kota. Semangat dan mimpi akan perdamaian di dunia memang sudah mendarah daging bagi keduanya.
Art dan Peggy adalah anggota organisasi perdamaian Christian Peacemaker Teams (CPT). Jika wilayah kerja Art adalah Palestina, maka Peggy aktif di Irak. Sejak 1995, Art pergi ke Palestina setiap musim dingin sekitar tiga bulan. Jadi, sampai 2008 ini, Art telah pergi ke Palestina sebanyak 13 kali. Kegiatan Art di Palestina bermacam-macam, yang intinya adalah mendorong upaya-upaya perdamaian di sana. Kadang-kadang dia mengantar anak Palestina ke sekolah, karena dalam perjalanan ke sekolah itu sering anak-anak Palestina mendapat serangan atau cemoohan dari para pemukim (settlers) Yahudi dan bahkan dari tentara Israel. Seperti diceritakan dalam buku ini, sehari-harinya orang-orang Palestina mengalami hinaan baik dari para pemukim maupun tentara. Kehadiran secara fisik aktivis perdamaian seperti Art, apalagi kalau membawa kamera, membuat para settler atau tentara menahan diri karena khawatir diekspos lebih besar. Selain itu, Art bersama-sama dengan aktivis perdamaian dari Israel dan Palestina melakukan program-program perdamaian bersama.
Hubungan Art dengan masyarakat Muslim di Athens sangat baik. Kalau tidak keluar kota, dia hampir pasti ikut acara-acara yang dilakukan di Islamic Center of Athens. Dia mulai mengenal komunitas Muslim di Athens, yang sebagian besar mahasiswa, ketika datang pada acara open house pada akhir 1980-an, dan mulai bergabung ikut shalat pada sekitar 1998. Dia ikut datang hari Jumat, dan ikut shalat Jumat berjamaah. Pada bulan Ramadhan, dia berpuasa dan juga ikut buka puasa bersama, shalat magrib, isya, dan tarawih berjamaah bersama kaum Muslim yang lain. Suatu saat, dia memberi tahu saya bahwa dia sudah bicara dengan beberapa orang di Athens yang akan siap melindungi kaum Muslim dan keluarganya, kalau-kalau mereka mendapat ancaman kekerasan dari kaum Kristen Kanan. Saat itu, kecaman kaum konservatif Kristen Kanan di media-media terhadap Islam memang menguat. Jika saja terjadi serangan pengeboman di Amerika, bukan tidak mungkin kaum Muslim yang tinggal di Amerika akan menjadi sasaran pembalasan. Art sangat khawatir memikirkan kemungkinan itu, dan karenanya sempat berbicara dengan beberapa orang di Athens untuk mengantisipasinya.
Istri Art, Peggy Gish, juga aktivis perdamaian yang teguh. Hanya, kalau Art aktif di Palestina, wilayah kerja Peggy adalah Irak. Ibu yang berwajah teduh dan bertubuh kecil ini tak dinyana menyimpan energi dan tekad yang besar. Sebagai bagian dari CPT, Peggy telah berada di Irak bahkan 5 bulan sebelum tentara AS menyerbu Irak. Dalam satu percakapan sebelum Peggy berangkat, dia mengatakan dengan sebisanya mereka akan mencoba menentang serbuan AS dengan menjadi semacam human shield (perisai manusia) di Bagdad. Peggy dan kawan-kawannya tetap tinggal di Irak ketika pengeboman Bagdad dimulai. Menurut Art, selama enam tahun terakhir ini, Peggy menghabiskan separuh waktu hidupnya di Irak.
Salah satu kegiatan utama CPT di Irak adalah mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tentara pendudukan, mendampingi keluarga-keluarga mencari anggota-anggota mereka yang hilang, dan juga bekerja sama dengan organisasi lokal semacam Muslim Peacemaker Team. Akibat aktivitas ini, CPT tidak disukai oleh tentara pendudukan. CPT selalu berusaha menyebarkan temuan mereka ini, tetapi tidak pernah mendapat perhatian serius dari media di AS. Mereka bahkan tahu lebih dulu pelanggaran HAM oleh tentara-tentara AS di Penjara Abu Ghraib. Tetapi, kasus ini meledak hanya setelah wartawan masyhur Seymour Hersh menulisnya di The New Yorker.
Kegiatan CPT di daerah yang berbahaya ini telah memakan korban beberapa anggota CPT, ketika beberapa anggota mereka diculik oleh pihak tak dikenal dan ditemukan tewas beberapa saat kemudian. Peggy sendiri sempat diculik oleh kelompok orang tak dikenal. Komunitas Muslim di Athens sangat prihatin mendengar kabar itu, dan ikut bersyukur ketika beberapa saat kemudian Peggy dibebaskan. Kata Peggy, salah satu yang membuatnya bebas adalah karena dia menunjukkan foto Art yang sedang menghadang tank Israel itu kepada para penculik. Rupanya para penculik itu terkesan.
Art dan Peggy tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana di pertanian di luar Kota Athens. Rumah itu begitu sederhana, bahkan untuk ukuran orang miskin di Amerika. Seorang teman saya, Ihsan Ali-Fauzi, mempunyai cerita menarik untuk menggambarkannya. Suatu kali, dia mengantar beberapa tokoh muda Muslim Indonesia yang sedang berkunjung ke Athens, dalam sebuah proyek yang diselenggarakan oleh Ohio University. Salah satu tujuannya adalah berkunjung ke rumah Art Gish, dengan menumpang bus dari universitas. Setelah beberapa saat sampai di sana dan melihat kondisi rumah Art Gish, sopir bus itu berbisik dengan jengkel ke Ihsan. Kata sopir bus itu, kurang lebih, kalau ingin membawa rombongan tamu, mendingan ke rumah dia saja, tidak ke rumah Art yang "malu-maluin" itu.
Karena sangat peduli dengan lingkungan, mereka adalah petani yang meyakini sistem pertanian organik, sehingga, misalnya, mereka tidak memakai pupuk kimia untuk menyuburkan tanaman mereka. Mereka membuat pupuk kompos dari bahan-bahan alami yang ada. Sampai-sampai, mereka tidak memiliki WC, karena mereka juga memanfaatkan "limbah buang air besar" untuk bahan pupuk. Hasil pertanian mereka akan dijual ke Farmers' Market yang diadakan dua kali seminggu di Kota Athens. Jika ikut berbuka puasa bersama atau jika ada acara makan-makan di Islamic Center, Art selalu membawa ember kaleng. Tujuannya untuk menampung tulang-tulang, biji-biji kurma, dan makanan sisa untuk nanti dijadikannya pupuk kompos. Yang sering membuat saya malu sendiri pada kesempatan-kesempatan semacam itu adalah bahwa Art tidak pernah mau memakai piring, gelas, atau mangkuk sekali-pakai yang terbuat dari styrofoam yang disediakan di situ. Padahal saya tahu, dan saya yakin sebagian kaum Muslim di Athens tahu, bahwa bahan ini termasuk yang paling tidak ramah lingkungan, termasuk bahan yang paling sukar menyatu kembali dengan alam. Art selalu membawa piring dan gelasnya sendiri karena tidak ingin menambah polusi di bumi ini. Art juga selalu menghabiskan licin tandas makanan yang diambilnya. Selesai makan, dia akan menjilati piringnya untuk memastikan tidak ada makanan yang tersisa.
Bagi saya, Brother Art, begitu biasanya kaum Muslim di Athens menyapanya, adalah orang yang berkepribadian luar biasa. Setiap kali di depan dia, saya selalu merasa kecil, mengingat begitu banyak hal yang telah dilakukannya untuk orang Palestina maupun umat manusia secara keseluruhan. Dia sebuah pribadi dengan keyakinan yang total, yang "kaffah". Sekadar sebuah bentuk apresiasi kecil, saya pernah menghadiahkan sepotong kemeja batik baru untuknya. Pada Jumat berikutnya, dia memakainya ketika shalat Jumat di Islamic Center. Ukuran baju itu pas sekali di tubuhnya. Dan dia tampak gagah. Tetapi, tetap saja itu apresiasi yang terlalu kecil untuk karya kemanusiaannya yang luar biasa.
Art dan Peggy adalah cermin bening yang memantulkan bayangan-bayangan indah. Ada bayangan seorang humanis yang prihatin kepada nasib orang-orang tertindas, ada juga pluralisme religius in its best yang tak dinodai sekadar pameran kekenesan intelektual, lalu kecintaan seorang environmentalis kepada alam yang dermawan memberi hidup kepada penghuninya, gaya hidup zuhud kaum sufi, dan sikap cinta damai total seorang Muslim. Art adalah sebuah exemplar, yang amat dibutuhkan untuk memancarkan secercah sinar ke atas bumi-manusia yang rasanya makin gelap dengan tingkah polah kerumunan makhluk yang lebih sering kehilangan kemanusiaannya. Art adalah cahaya di ujung terowongan peradaban, betapapun gelap dan panjangnya terowongan itu. Meski malu, setiap kita perlu becermin padanya, dan tanpa ragu masuk ke barisan yang dibentuknya. Agar kita bisa mengklaim kembali kemanusiaan kita yang terancam aus oleh serangan banalisme yang terus-menerus mengharu-birunya.
No comments:
Post a Comment