Tuesday, July 29, 2008

Art Gish di Indonesia 3: Art Gish, Pejuang Perdamaian yang "Kaffah"

Pengantar:

Mulai tanggal 21 Juli 2008 ini, Universitas Paramadina dan Penerbit Mizan mengundang Art Gish untuk datang ke Indonesia dalam rangka peluncuran bukunya berjudul "Hebron Journal" yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Berikut adalah tulisan pengantar dari Mas Putut dalam mengiringi perjalanan Art Gish di Indonesia.


ART GISH, PEJUANG PERDAMAIAN YANG "KAFFAH"

Oleh : Putut Widjanarko

Hari itu, di sebuah Jumat di tahun 2003, beredar kabar di masyarakat Muslim di Athens, kota kecil di bagian tenggara negara bagian Ohio, AS, kalau Art Gish melakukan tindakan luar biasa di Pales­tina beberapa waktu sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, ia menghadang tank Israel yang berniat menghancurkan pasar orang Palestina, hingga moncong tank itu berhenti hanya beberapa senti­meter dari mukanya. Tank itu kemudian meng­alihkan jalannya. Belakangan, ketika duduk ber­samanya di pojok ruang utama gedung Islamic Center seusai shalat Jumat, saya tanya Art bagai­mana dia bisa seberani itu. Saya persisnya lupa jawaban Art, tetapi kira-kira begini: Keberanian itu datang dari Allah, dan saya hanya merespons apa yang hanya dan harus saya lakukan saat itu. Tak kurang dan tak lebih.

Selama kurang lebih enam tahun tinggal di Athens untuk menempuh pendidikan di Ohio Uni­versity antara 2001-2007, saya cukup sering ngobrol dengan Art. Biasanya saat-saat se­telah shalat Jumat, atau kesempatan lain ke­tika buka puasa bersama dan shalat tarawih. Be­berapa kali saya mengadakan janji berjumpa deng­annya di Alden Library, perpustakaan uni­versitas, untuk mengobrol. Lelaki berjenggot tebal dan murah senyum ini memang enak diajak ngob­rol.

Art tumbuh besar dalam lingkungan gereja yang menganut paham pasifis atau paham mut­lak anti-kekerasan. Paham ini menolak segala bentuk kekerasan. Dia telah aktif dalam kegiatan perdamaian selama 50 tahun, dan ikut terlibat dalam gerakan pembelaan hak-hak sipil serta bekerja bersama Martin Luther King, Jr. Art juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan anti-Perang Vietnam. Setiap Senin, dia melakukan peace vigil selama satu jam di depan gedung wali kota. Sering dia hanya sendirian, atau bersama istri­nya, Peggy Gish, kalau yang bersangkutan juga sedang tidak keluar kota. Mereka berdiri di depan gedung wali kota, menghadap ke jalan, dan meme­gang poster. Isunya macam-macam, yang intinya me­ngenai perdamaian. Suami-istri Gish telah mela­kukan hal ini selama 25 tahun, tanpa henti dengan teguh, setiap Senin, kecuali jika mereka se­dang di luar kota. Semangat dan mimpi akan per­damaian di dunia memang sudah mendarah daging bagi ke­duanya.

Art dan Peggy adalah anggota organisasi per­damaian Christian Peacemaker Teams (CPT). Jika wilayah kerja Art adalah Palestina, maka Peggy aktif di Irak. Sejak 1995, Art pergi ke Palestina setiap musim dingin sekitar tiga bulan. Jadi, sam­pai 2008 ini, Art telah pergi ke Palestina sebanyak 13 kali. Kegiatan Art di Palestina bermacam-ma­cam, yang intinya adalah mendorong upaya-upaya perdamaian di sana. Kadang-kadang dia meng­antar anak Palestina ke sekolah, karena dalam perjalanan ke sekolah itu sering anak-anak Pales­tina mendapat serangan atau cemoohan dari para pemukim (settlers) Yahudi dan bahkan dari tentara Israel. Seperti diceritakan dalam buku ini, sehari-harinya orang-orang Palestina mengalami hina­an baik dari para pemukim maupun tentara. Ke­ha­diran secara fisik aktivis perdamaian seperti Art, apalagi kalau membawa kamera, membuat para settler atau tentara menahan diri karena kha­watir diekspos lebih besar. Selain itu, Art bersama-sama dengan aktivis perdamaian dari Israel dan Palestina melakukan program-program perda­mai­an bersama.

Hubungan Art dengan masyarakat Muslim di Athens sangat baik. Kalau tidak keluar kota, dia hampir pasti ikut acara-acara yang dilakukan di Islamic Center of Athens. Dia mulai mengenal komunitas Muslim di Athens, yang sebagian besar mahasiswa, ketika datang pada acara open house pada akhir 1980-an, dan mulai bergabung ikut shalat pada sekitar 1998. Dia ikut datang hari Jumat, dan ikut shalat Jumat berjamaah. Pada bulan Ra­ma­dhan, dia berpuasa dan juga ikut buka puasa bersama, shalat magrib, isya, dan tarawih ber­jamaah bersama kaum Muslim yang lain. Suatu saat, dia memberi tahu saya bahwa dia sudah bicara dengan beberapa orang di Athens yang akan siap melindungi kaum Muslim dan ke­luarga­nya, kalau-kalau mereka mendapat ancaman ke­kerasan dari kaum Kristen Kanan. Saat itu, ke­caman kaum konservatif Kristen Kanan di media-media terhadap Islam memang menguat. Jika saja terjadi serangan pengeboman di Amerika, bukan tidak mungkin kaum Muslim yang tinggal di Amerika akan menjadi sasaran pembalasan. Art sangat kha­watir memikirkan kemungkinan itu, dan karena­nya sempat berbicara dengan be­berapa orang di Athens untuk mengantisipasi­nya.

Istri Art, Peggy Gish, juga aktivis perdamaian yang teguh. Hanya, kalau Art aktif di Palestina, wi­layah kerja Peggy adalah Irak. Ibu yang ber­wajah teduh dan bertubuh kecil ini tak dinyana menyimpan energi dan tekad yang besar. Se­bagai bagian dari CPT, Peggy telah berada di Irak bah­kan 5 bulan sebelum tentara AS menyerbu Irak. Dalam satu percakapan sebelum Peggy berang­kat, dia mengatakan dengan sebisanya mereka akan mencoba menentang serbuan AS dengan menjadi semacam human shield (perisai manu­sia) di Bagdad. Peggy dan kawan-kawannya tetap tinggal di Irak ketika pengeboman Bagdad di­mulai. Menurut Art, selama enam tahun ter­akhir ini, Peggy menghabiskan separuh waktu hidup­nya di Irak.

Salah satu kegiatan utama CPT di Irak adalah mendokumentasikan pelanggar­an-pelanggaran yang dilakukan oleh tentara pen­dudukan, men­dampingi keluarga-keluarga men­cari anggota-anggota mereka yang hilang, dan juga bekerja sama dengan organisasi lokal sema­cam Muslim Peacemaker Team. Akibat aktivitas ini, CPT tidak disukai oleh tentara pendudukan. CPT selalu ber­usaha menyebarkan temuan mereka ini, tetapi tidak pernah mendapat perhatian serius dari me­dia di AS. Mereka bahkan tahu lebih dulu pelang­garan HAM oleh tentara-tentara AS di Pen­jara Abu Ghraib. Tetapi, kasus ini meledak hanya setelah wartawan masyhur Seymour Hersh me­nulisnya di The New Yorker.

Kegiatan CPT di daerah yang berbahaya ini telah memakan korban beberapa anggota CPT, ketika beberapa anggota mereka diculik oleh pi­hak tak dikenal dan ditemukan tewas beberapa saat kemudian. Peggy sendiri sempat diculik oleh kelompok orang tak dikenal. Komunitas Muslim di Athens sangat prihatin mendengar kabar itu, dan ikut bersyukur ketika beberapa saat kemu­dian Peggy dibebaskan. Kata Peggy, salah satu yang membuatnya bebas adalah karena dia me­nun­­jukkan foto Art yang sedang menghadang tank Israel itu kepada para penculik. Rupanya para penculik itu terkesan.

Art dan Peggy tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana di pertanian di luar Kota Athens. Rumah itu begitu sederhana, bahkan untuk ukur­an orang miskin di Amerika. Seorang teman saya, Ihsan Ali-Fauzi, mempunyai cerita menarik untuk menggambarkannya. Suatu kali, dia mengantar beberapa tokoh muda Muslim Indonesia yang sedang berkunjung ke Athens, dalam sebuah pro­yek yang diselenggarakan oleh Ohio University. Salah satu tujuannya adalah berkunjung ke rumah Art Gish, dengan menumpang bus dari universitas. Setelah beberapa saat sampai di sana dan me­lihat kondisi rumah Art Gish, sopir bus itu berbisik dengan jengkel ke Ihsan. Kata sopir bus itu, kurang lebih, kalau ingin membawa rombongan tamu, mendingan ke rumah dia saja, tidak ke rumah Art yang "malu-maluin" itu.

Karena sangat peduli dengan lingkungan, mereka adalah petani yang meyakini sistem per­tanian organik, sehingga, misalnya, mereka tidak memakai pupuk kimia untuk menyuburkan ta­nam­an mereka. Mereka membuat pupuk kom­pos dari bahan-bahan alami yang ada. Sampai-sampai, mereka tidak memiliki WC, karena mereka juga memanfaatkan "limbah buang air besar" untuk bahan pupuk. Hasil pertanian mereka akan dijual ke Farmers' Market yang diadakan dua kali seminggu di Kota Athens. Jika ikut berbuka puasa bersama atau jika ada acara makan-makan di Islamic Center, Art selalu membawa ember kaleng. Tujuannya untuk menampung tulang-tulang, biji-biji kurma, dan makanan sisa untuk nanti dijadi­kan­nya pupuk kompos. Yang sering membuat saya malu sendiri pada kesempatan-kesempatan semacam itu adalah bahwa Art tidak pernah mau memakai piring, gelas, atau mang­kuk sekali-pakai yang terbuat dari styrofoam yang disediakan di situ. Padahal saya tahu, dan saya yakin sebagian kaum Muslim di Athens tahu, bahwa bahan ini termasuk yang paling tidak ramah lingkungan, termasuk bahan yang paling sukar menyatu kem­bali dengan alam. Art selalu mem­bawa piring dan gelasnya sendiri karena tidak ingin menambah polusi di bumi ini. Art juga se­lalu menghabiskan licin tandas makanan yang diambilnya. Selesai makan, dia akan menjilati pi­ringnya untuk me­mastikan tidak ada makanan yang tersisa.

Bagi saya, Brother Art, begitu biasanya kaum Muslim di Athens menyapanya, adalah orang yang berkepribadian luar biasa. Setiap kali di depan dia, saya selalu merasa kecil, mengingat begitu banyak hal yang telah dilakukannya untuk orang Palestina maupun umat manusia secara keselu­ruhan. Dia sebuah pribadi dengan keyakin­an yang total, yang "kaffah". Sekadar sebuah ben­tuk apre­siasi kecil, saya pernah menghadiah­kan sepo­­tong kemeja batik baru untuknya. Pada Jumat berikutnya, dia memakainya ketika shalat Jumat di Islamic Center. Ukuran baju itu pas sekali di tubuhnya. Dan dia tampak gagah. Tetapi, tetap saja itu apresiasi yang terlalu kecil untuk karya kemanusiaannya yang luar biasa.

Art dan Peggy adalah cermin bening yang memantulkan bayangan-bayangan indah. Ada bayangan seorang humanis yang prihatin ke­pada nasib orang-orang tertindas, ada juga pluralisme religius in its best yang tak dinodai sekadar pame­ran kekenesan intelektual, lalu kecintaan seorang environmentalis kepada alam yang dermawan memberi hidup kepada penghuninya, gaya hidup zuhud kaum sufi, dan sikap cinta damai total se­orang Muslim. Art adalah sebuah exemplar, yang amat dibutuhkan untuk memancarkan secercah sinar ke atas bumi-manusia yang rasanya makin gelap dengan tingkah polah kerumunan makhluk yang lebih sering kehilangan kemanusiaannya. Art adalah cahaya di ujung terowongan peradab­an, betapapun gelap dan panjangnya terowong­an itu. Meski malu, setiap kita perlu becermin padanya, dan tanpa ragu masuk ke barisan yang dibentuknya. Agar kita bisa mengklaim kembali kemanusiaan kita yang terancam aus oleh se­rang­an banalisme yang terus-menerus mengharu-birunya.

Jakarta, 26 Juni 2008

No comments: