Saturday, March 29, 2008

Belajar dari Fitna: Perlu ada Metode Tafsir Alternatif untuk Ayat-Ayat Perang

Oleh Sri Murniati (Unie)

Teman saya mengirim link website film berjudul Fitna yang dibuat oleh politisi Belanda, Geert Wilders (sayangnya, sekarang filmnya sudah dihapus dari website tersebut). Film ini secara umum mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Muslim dan retorika kekerasan yang berputar di kalangan masyarakat Muslim memang mendapatkan justifikasi dari kitab suci umat Islam, al-Qur’an. Ada 5 ayat al-Qur’an yang dikutip film tersebut yaitu Qs. Al-Nissa (4): 56 dan 89, Qs. Al-Anfal (8): 39 dan 60, serta Qs. Muhammad (47): 4.

Otak saya agak cukup mendidih juga ketika pertama kali menonton film dokumenter itu. Bagaimana tidak? Ayat-ayat tersebut ditampilkan dan dibacakan bersama-sama dengan foto-foto tragedi penghancuran gedung WTC, bom London, bom Madrid, pembunuhan Theo Van Gogh di Belanda, ancaman terror, ungkapan-ungkapan tanpa sesal oknum muslim yang pernah melakukan terorisme, perempuan Afghnistan berjubah yang ditembak tak berdaya oleh laki-laki berpakaian Muslim, dan dengan puluhan gambar mengerikan lainnya, yang membuat wajah buruk Islam komplet sudah. Pokoknya islam dan muslim itu doyan kekerasan, anti kebebasan, ingin mendominasi dunia, serta merendahkan martabat dan membatasi hak perempuan. Akhir video ditutup dengan kampanye “stop islamisasi”.

“Huh…, berat tarikan nafas saya. Sangat simplisistik, menggeneralisir, dan tentu saja provokatif. Bagaimana akan terjadi dialog antara mereka yang mengaku sebagai pejuang “kebebasan dan hak asasi manusia” dengan muslim yang dianggap tidak suka kebebasan, kalau image yang ditampilkan oleh kedua belah pihak selalu sepihak?

Meski demikian, ada point dalam film itu yang perlu menjadi bahan pemikiran bagi umat Islam terutama tentang bagaimana kita memahami dan bersikap terhadap ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an yang literally memotivasi untuk melakukan kekerasan (ayat-ayat qital).

Saya agak tergoda dengan pilihan ayat yang ditampilkan di film tersebut. beruntung sekali karena saya sempat mencatat terjemahan ayat-ayat Qur’an yang ditampilkan di situ. Terjemahan ditampilkan dalam bahasa Inggris. Agak mengerikan memang, kalau tidak tahu Bahasa Arab sama sekali. Sekedar gambaran: to strike the terror into the heart of enemies”, “to roast those who have disbelieved our signs”, “smite at the unbelievers’necks if you meet them”. Sambil menuliskan kata-kata itu saya bergumam dalam hati, “pasti terjemahan ini dilebih-lebihkan”. Apalagi sang pembuat film memang tidak mencantumkan sumber terjemahannya.

Sampai di rumah, saya cek Terjemahan Qur’an Mohammed Marmaduke Pickthall (The Meaning of the Glorious Quran) dan Yusuf Ali (The Holy Quran). Saya kecele, terjemahan mereka memang tidak jauh beda. Yang agak dilebih-lebihkan barangkali kata-kata “strike terror” yang digunakan untuk menerjemahkan kata “yurhibuna”. Nampaknya sang pembuat film memanfaatkan terjemahan modern kata ini. Terorisme dalam bahasa Arab memang irhab.

Setelah saya cek terjemah, saya mulai membaca teks qur’annya. Saya baca berulang-ulang. Maaf dikata, ayat-ayat yang sudah ratusan kali saya baca dan tak pernah menyebabkan reaksi apapun sebelumnya, rasanya kini agak cukup menggangu. Kata “perangi”, “pancunglah batang leher”, “tawan dan bunuhlah mereka” bertebaran dalam ayat-ayat tersebut.

Umum diketahui, soal menyimpulkan hukum dari nash qur’an biasanya para ulama menyarankan untuk menggunakan kaidah ushul fiqh “al hukmu biumum al lafdzi la bikhusus al-sabab” (hukum itu diturunkan dari kalimat teks, bukan kekhususan sebabnya). Tapi saya kira, jika kita mempergunakan kaidah ini untuk membaca beberapa ayat yang saya sebutkan di atas, citra Islam sebagai agama yang menganjurkan kekerasan akan semakin menebal.

Mengandalkan konteks untuk membaca ayat ini dengan demikian akan sangat menolong. Setiap ayat memiliki paling tidak dua konteks: konteks penurunan dan konteks dalam teks qur’annya sendiri. Memahami konteks paling tidak akan menolong kita memahami motivasi penurunan ayat-ayat tersebut dan menjaga kita untuk tidak berbuat serampangan. Seperti kata Fazlurrahman, memahami konteks akan menolong kita menemukan “makna universal” qur’an yang harus menjadi basis bagi penerapan ayat-ayat tersebut pada saat ini.

Usut punya usut, seluruh ayat yang dikutip dalam film itu ternyata memang ayat-ayat madaniyah (diturunkan di Madinah atau setelah hijrah). Masa pasca hijrah memang merupakan waktu yang cukup kritis bagi umat Islam. Saat itu, Nabi mulai berperang berhadap-hadapan dengan orang Mekah. Puluhan perang terjadi antara komunitas muslim dengan orang Mekah. Orang Yahudi dan beberapa orang yang disebut dalam al-Qur’an sebagai orang munafik di Madinah seringkali berada di pihak orang Mekah, ketimbang di pihak komunitas muslim. Singkatnya, umat Islam saat ini dalam situasi perang yang hampir tak berkesudahan. Mempertimbangkan konteks ini, tidaklah mengherankan bila al-Qur’an menurunkan perintah menakut-nakuti musuh dengan senjata apapun yang dimiliki (Qs al-Anfal: 60), perintah untuk membunuh mereka dimana pun bertemu (Qs.Muhammad: 4), harap berhati-hati dengan orang Munafiq (Qs Annisa: 89).

Perlu dicatat, sang pembuat film memang agak menafikan konteks ayat ini. Penampilan terjemah Qs. Annisa ayat 56 mengesankan kalau umat Islam harus membakar orang kafir karena mereka tidak mempercayai tanda-tanda Tuhan. Padahal kalau ayat itu dibaca bersama-sama ayat sebelumnya, mereka tidak berbicara tentang hal tersebut, tetapi mereka mendeskripsikan pedihnya siksa neraka yang akan diterima oleh orang yang tidak percaya pada tanda-tanda peringatan dari Allah.

Menelusuri konteks ayat dan konteks penurunan memang membuat kita bisa memaklumi mengapa al-Qur’an berbicara dengan intonasi seperti itu. Memang agak sedikit menentramkan. Kita cukup berkata bahwa saat ini umat Islam tidak dalam kondisi perang, maka perintah dalam ayat-ayat tersebut tidak berlaku. Tapi menurut saya, ada tiga masalah dengan cara pandang seperti ini.

Pertama, tidak semua orang berfikir bahwa umat Islam saat ini tidak sedang berperang. Muslim seperti Imam Samudera dan kawan-kawannya berfikir bahwa dunia Islam sedang dalam perang tak berkesudahan (we are under constant attack). Maka ayat itu harus berlaku.

Kedua, kalau memang ayat-ayat itu hukumnya tidak berlaku, berarti ada banyak sekali bagian-bagian dalam al-Qur’an yang tidak berlaku saat ini, lantas mau kita apakan ayat-ayat itu? Dimoratoriumkan seperti usulan Tariq Ramadan untuk ayat-ayat Hudud?

Ketiga, kalaupun seandainya kelak terjadi perang, akankah resep al-Qur’an yang, maaf, agak berdarah-darah itu yang akan kita terapkan untuk menghadapi musuh? Saya agak ragu dan tidak mau.

Saya masih percaya bahwa al-Qur’an shahih li kulli zaman wa makan. Karena itulah, saya agak keberatan dengan tesis bahwa ayat-ayat itu tidak berlaku saat ini. Saya percaya bahwa Islam rahmatan lil alamin dan anti kekerasan. Perlu ada metode penafsiran yang bisa mengakomodasi kemungkinan penerapan ayat-ayat seperti itu. Ide Fazlurrahman mungkin menarik, tapi pesan universal apa yang bisa kita tarik dari ayat-ayat bernada kekerasan tersebut? Pe-eR kita bersama dengan demikian untuk metode penafsiran yang tidak membuat ayat qur’an terkesan tak relevan dan pada saat yang sama membuatnya berlaku tanpa harus membuat pertumpahan darah? Sementara itu, ide moratorium mungkin perlu dipertimbangkan.

2 comments:

Anonymous said...

Penulis artikel seperti ini yg layak disebut cendikiawan muslim, mau membuka hati,instrospeksi diri, saya salut dengan buah pikirannya, kalau saja orang seperti anda bisa berdebat dengan Wilders, maka mungkin rasa anti islamnya bakalan surut, sayangnya di Belanda yg menantang Wilders untuk berdiskusi * yg buntut buntutnya malahan jadi adu kusir delman * hanyalah yg mengaku islam dan hanya mengerti kulit luarnya saja.

Anonymous said...

Subhanllah, salut aku, lanjutkan!!!