Wednesday, March 26, 2008

Grogi Mendominasi Peserta “Public Speaking Skill”

Begitulah grogi menjadi menu utama "makan siang” para peserta workshop Public Speaking and Interaction Skills Permias Ohio bersama Eko Junor. Workshop yang berlangsung di Baker Center selama dua hari ini (25 & 26 Maret 2008) baru saja selesai dengan antusiasme luar biasa para peserta.

“Saya ingin terlihat dewasa pada saat diperlukan,” Arin, presiden Permias menjawab Eko Junor soal harapan terhadap pelatihan workshop ini. Lain lagi dengan Efka dengan nada kesal katanya, “kalo saya nervous pasti bawaannya jadi jutek banget.” Sebagian besar peserta berkeluh kesah dengan rasa grogi yang mereka alami saat presentasi atau ketika jadi MC. Membuang rasa grogi, adalah harapan terbesar yang ingin dicapai peserta. Tetapi Brian justru punya harapan lain. “Bisa gak yah saya terlihat lebih smart ketika tampil bicara di depan umum?" Tanya Brian penasaran. Sedangkan Arin punya cara sendiri mengatasi groginya. “Kalo grogi saya sering mengatasinya dengan ketawa ketiwi padahal itu gak penting,” imbuh Arin. “Lho bisa saja itu penting! belum tentu apa yang kita rasakan tidak penting dilihat orang sebagai tidak penting juga” potong Eko. Oleh karenanya peserta diminta harus sedari awal bisa membedakan antara what people see and what we feel. Dan ini hanya bisa didapat dengan cara practice dan practice, yakni harus berani menerima atau mengambil tawaran ketika ada kesempatan bicara di depan umum. Practice inilah yang akan melahirkan keterampilan berbicara. Langkah awal dan paling mudah untuk practice adalah saat kita berbicara dengan orang yang baru kita kenal. Inilah ajang mengasah ketrampilan berbicara kita. Oleh karenanya latihan di depan kaca sangat tidak dianjurkan dalam workshop ini sebab beribicara di depan kaca hanyalah melibatkan satu orang, diri kita sendiri.

Gak usah khawatir kalo grogi! kata suami Mira Junor ini memberi motivasi kepada peserta. Semua orang mengalami grogi. Grogi adalah kewajaran yang menghampiri semua orang saat berbicara di depan umum. Bahkan MC atau presenter yang kita lihat di televisi pun mengalami grogi. Banyak MC televisi yang juga adalah pemalu dan pendiam bahkan kadang mereka dalam mood yang berbeda dengan apa yang terlihat di televisi. Tapi mereka dengan cepat bisa switch on their expressions tergantung situasinya. Sebab memang mereka sudah terlatih untuk itu. Tidak mungkin ketika MC lagi bete atau lagi sedih terus membawakan acaranya juga dengan sedih dan bete. Mood sedih dan bete itu cukup dirasakan oleh kita sendiri, audiens tidak perlu tahu dan emang gak pengen tahu, tambahnya memberi contoh. Begitu juga dengan grogi. Grogi itu cukup ada di dalam diri kita saja, untuk dirasakan saja tapi tidak untuk ditunjukkan. Grogi itu alamiah dan tidak ada obat yang bisa menyembuhkan. Akan tetapi kita bisa meminimalisir grogi dengan cara mengendalikan gejala-gejala grogi. Menurutnya nasihat yang paling baik adalah kita jangan pernah pikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, tetapi harusnya kita pikirkan apa yang orang lain inginkan.

Setelah mendapat wejangan materi-materi public speaking plus tips and tricks di hari pertama, tiba giliran peserta mempraktikannya di depan kamera pada hari kedua. Peserta Workshop diminta berbicara di depan kamera selama 3 menit dengan tema yang dipilih masing-masing. Mulai dari tema keluarga, film, promosi pariwisata daerah sampai ke CinTa Laura pun dibawakan peserta dengan gaya khas masing-masing. Sehabis peserta mempresentasikan materi cerita mereka, evaluasi pun dilakukan Eko Junor dengan memutar kembali rekaman video presentasi peserta. Gejala grogi yang paling sering dijumpai adalah repetitive movement atau gerakan tangan yang berulang-ulang yang kadang tidak sinkron dengan kata atau kalimat yang diucapkan saat itu. Memegang catatan dan sesekali memasukan tangan ke dalam kantong celana adalah bagian dari upaya menyalurkan rasa grogi yang memang diperlukan, demikian saran Eko yang juga pernah melatih beberapa presenter televisi nasional dan penyiar radio di Indonesia. Gejala grogi lain termasuk kontak mata antara presenter dengan penonton. Secara tidak sadar beberapa peserta ketika berbicara seringkali bola mata hitamnya terlihat ke atas atau ke bawah. Ini yang tidak boleh terjadi saat kita berbicara di depan umum karena audiens kita akan merasa dicuekin atau justru kita terlihat sedang mikir atau malu, ucap trainer yang sedang kuliah di jurusan Ilmu Politik ini. Strategi yang paling bagus untuk mengatasi gejala grogi ini adalah dengan menggunakan mata zombie. Koq mata zombie! Nah, mata zombie itu adalah ketika bicara mata kita seolah-olah melihat ke arah penonton, tetapi kita tidak perlu memperhatikan secara detail ke arah mereka, tambahnya memotivasi.

Walaupun waktu telah menunjukkan pukul 5 sore, masih ada materi yang tersisa dalam pelatihan yang telah dimulai sejak jam 1 sampe jam 5, sehingga ditambah lagi satu jam. Sisa waktu ini pun dipakai untuk mencover beberapa materi, khususnya tentang MC. Akhirnya, semangat dan motivasi ingin belajar tampil di depan umum oleh teman-teman Permias membuat waktu enam jam pelatihan di hari kedua itu berjalan begitu cepat bahkan terasa kurang.

1 comment:

Anonymous said...

Very guuut...Permias yud did a good program. BRAVO ! chz