Saturday, March 29, 2008

Fitna: Antara Propaganda anti-Islam dan Representasi Realita

Oleh M. Syahril Sangaji

Tepat 20 tahun, sebuah informasi sesat kembali mengguncang dunia Islam. Setelah Salman Rushdie menggegerkan dunia dengan buku Ayat-Ayat Setan pada tahun 1988, kini Fitna, sebuah film dokumenter karya anggota parlemen Belanda, Geert Wilders kembali menampar wajah Islam dan bahkan memicu perdebatan di dalam masyarakat Belanda sendiri. Lalu kenapa Wilders begitu gigih membuat dan mempublikasikan film dokumenter yang justru telah ditolak pemutarannya dari dalam negerinya sendiri? Lalu bagaimana juga seyogyanya umat Islam menyikapi film dokumenter tersebut? Tulisan ini akan mencoba mengupas dua pertanyaan penting tadi dengan menggunakan pisau analisa tekstual (textual analysis) terhadap film Fitna.

Konteks
Menurut Alan Mckee (2003), konteks merupakan aspek penting yang akan membantu kita menganalisa sebuah “teks” (baca; film). Elemen-elemen dalam konteks ini termasuk situasi atau kebutuhan tertentu yang mendorong anggota parlemen Wilders menulis teks Fitna kemudian memproduksinya. Juga yang tak kalah penting untuk diteliti adalah siapa Wilders ini dan siapa target audiensnya. Elemen-elemen yang mengelilingi pembuatan film ini akan memberikan kita informasi yang berguna dan dapat dipertangungjawabkan dalam menjelaskan kenapa isi dan alur film Fitna ini dikonstruksi dan dipresentasikan sedemikian rupa. Sehingga kemudian bisa kita ambil pelajaran positif dari sisi negatif yang diangkat film fitna.

Pertentangan Ideologi
Setelah peristiwa serangan 11 September 2001, isu-isu yang berkaitan dengan Islam menjadi tema sentral di seluruh dunia, walaupun sebagiannya dikemas dalam persepsi negative. Bahkan para pembuat film dokumenter berlomba-lomba memproduksi film-film bertema Islam. Serial film dokumenter seperti America at Crossroads yang dirilis PBS (Public Broadcast Service) pada April 2007, yang mana salah satu serinya, Struggle for the Soul of Islam: inside Indonesia, mengangkat cerita pergulatan Islam moderat vs. Islam radikal di Indonesia. Tema yang sama juga pernah dipotret dalam film Islam vs. Islamists garapan Martyn Burke yang ditarik dari jadwal tayang PBS karena pemerintah Amerika yang diwakili WETA (Washington Educational Training Association) dan PBS memperdebatkan cara pandang Burke terhadap Islamists (Islam fundemantalis) yang secara ideologis dianggap menguntungkan Islam.

Begitu banyaknya film dokumenter tentang Islam, tentunya tak lepas dari konteks keamanan internasional pasca runtuhnya komunis, yang oleh Barat dipersepsikan sebagai ancaman terorisme Islam. Peristiwa pemboman oleh jihadis Islam dalam satu dekade terakhir telah menimbulkan rasa cemas negara-negara Barat. Sebelum serangan 11 September, telah terjadi serangan bom terhadap kedutaan Amerika di Nairobi, Kenya dan Dar es Salam, Tanzania pada tahun 1998 yang mana sekitar 5000 orang mengalami luka-luka dan 300an orang terbunuh secara keseluruhan. Setelah peristiwa 11 September, hampir setiap tahun bom-bom diledakkan oleh kelompok jaringan Al-Qaida dengan sasaran wilayah yang dianggap sebagai simbol Barat, contohnya bom Bali 2002, Casablanca Maroko 2003, bom Madrid 2004, dan pemboman London 2005. Serangkain terror bom oleh kelompok Islam radikal ini telah ikut melahirkan suasana Islamofobia di masyarakat Barat, tentu saja termasuk di dalamnya adalah masyarakat Belanda yang diwakili oleh Wilders, sang sutradara Fitna.

Pasca kejatuhan komunisme dan Soviet, ditandai pembobolan Tembok Berlin, dunia Barat seperti kehilangan musuh utamanya sampai kebangkitan kembali semangat jihad Islam di seluruh dunia yang dipelopori oleh kelompok Islam fundamentalis. Oleh Phares (2007), kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan turunan-turunannya walaupun sering berbeda dan berubah-ubah, tetap saja mereka memiliki satu tujuan, yakni memotong demokrasi sampai ke akar-akarnya. Oleh Islamis, demokrasi dianggap sebagai produk buatan manusia oleh karenanya tidak kompatibel dengan syariat Islam yang merupakan ciptaan Allah atau Allahucracy. Semangat kebangkitan Islam ini yang kemudian oleh Barat diterjemahkan sebagai ancaman baru terhadap ketentraman dunia. Islam pun digeneralisir sebagai ideologi tandingan dari demokrasi Barat yang perlu dimusuhi. Tesis clash of civilization-nya Huntington pun seperti terbukti telah menjadi kenyataan, Islam kini berbenturan dengan Barat.

Wilders dan Islam
Walaupun terlahir sebagai keturunan Kristen-Yahudi, Geert Wilders bukanlah seorang penganut agama tertentu alias Atheist. Wilders diyakini mulai terekspos dengan Islam secara langsung ketika ia mengunjungi Iran di tahun 1999 dalam tugas kenegaraan ketika diperbantukan tugas di parlemen. Pada tahun 2004, Wilders terpaksa cabut dari partainya People’s Party for Freedom (VVD) karena tidak setuju dengan kebijakan partainya yang menyetujui masuknya Turki ke dalam Uni Eropa. Tahun 2004 ini juga seorang sutradara film Belanda Theo Van Gogh yang juga pengritik keras Islam dibunuh oleh seorang imigran Islam keturunan Maroko. Rasa simpati mendalam terhadap Van Gogh sekaligus kemarahannya terhadap imigran Islam saat itu ikut membuat keselamatan jiwanya dalam keadaan bahaya. Ditambah lagi gambar kartun nabi Muhammad yang dipajang di situs web-nya semakin membuatnya diancam kelompok eksremis Islam, bahkan dalam kurun dua hari ia mendapat ancaman pembunuhan sebanyak 40 kali.

Wilders dicurigai sering membina hubungan dengan petinggi-petinggi Yahudi di Belanda, terbukti dengan penemuan intelejen Belanda yang mengatakan bahwa pada tahun 2007 Wilders secara teratur mengunjungi kedutaan Besar Israel di Den Haag.
Didapati juga bahwa akhir-akhir ini, Wilders, dalam pidato-pidatonya sering mengeluh akan semakin tumbuh suburnya Islam di Belanda, bahkan katanya jumlah masjid akan segera melebihi jumlah gereja di Belanda sebelum masyarakat Belanda sadar. Katanya lagi jika orang Islam ingin diterima di Belanda maka mereka harus merobek sebagian ayat-ayat Qur’an yang mengajarkan kebencian dan kekerasan.

Fitna
Kepercayaan Wilders terhadap tesis Huntington bahwa Islam tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat kemudian menjadi kenyataan setelah menyaksikan serangkaian peristiwa terror atas nama Islam yang disponsori jaringan Al-Qaida dan kelompok extremis Islam lainnya terhadap dunia Barat. Kejadian-kejadian terror ini jugalah yang memperkuat teori Wilder bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan kebencian terhadap non-Muslim. Wilders mulai terlihat membenci Islam setelah kejadian Serangan 11 September. Namun, pembunuhan Van Gogh oleh seorang imigran Islam Maroko lah yang semakin meyakinkan dia bahwa Islam lewat Qur’an mengizinkan umatnya menggunakan kekerasan kepada non-Muslim.

Pengalaman-pengalaman buruk Wilders dengan Islam yang diungkapkan dalam kalimat provokatif dan nada kebencian di atas akhirnya ia lampiaskan dalam karya dokumenter yang ia beri judul Fitna (Fitnah). Apa yang ia terima selama ini mengenai informasi Islam adalah melalui pengalaman-pengalaman buruknya berhadapan dengan ekstremis Islam. Lalu ia tampilkan akumulasi pengalaman dan kesaksian buruk tersebut dalam sebuah persepsi Fitna, sebuah dokumenter propaganda anti Islam.

Lesson Learned
Wilders meyakini bahwa Islam yang ia tampilkan dalam Fitna adalah benar adanya karena mampu dibuktikan dengan gambar-gambar dan rekaman video yang memperlihatkan kekerasan dan kebencian umat Islam terhadap Barat, Yahudi dan Kristen. Bahkan ayat-ayat suci Al-Qur’an pun dijadikan sumber legitimasi kebenaran film Fitna bahwa Islam sama dengan kekerasan. Lalu apa reaksi umat Islam setelah melihat atau mendengar cerita film ini. Apa yang perlu dilakukan umat Islam Indonesia ketika membaca seruan Wilders di akhir filmnya “stop islamization!” dan “the Islamic ideology has to be defeated now.”

Reaksi dan tanggapan yang paling elegan dari umat Islam tentunya bukan dengan cara meneror mereka yang terlibat dalam pembuatan film berdurasi 16 menit tersebut, lalu mengancam akan membunuhnya. Bukan pula dengan cara berdemonstrasi dan membakar bendera Belanda atau mensweeping turis-turis Belanda di jalan-jalan. Tentulah ini bukan cara yang Islami. Jika cara-cara kekerasan yang dipilih sebagai reaksi terhadap Fitna maka Wilders dan para Islamofobia di Barat akan semakin yakin bahwa Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang dipotret dalam film Fitna itu. Sebaliknya jika umat Islam mampu menunjukkan reaksi yang tidak berlebihan dan dikemukakan secara intelektual dalam menyikapi Fitna maka tesis Wilders tentang Islam menjadi gugur dengan sendirinya. Film Control Room (Jehane Noujaim) dan Reel Bad Arabs (Jack Shaheen) merupakan contoh film dokumenter sebagai counter-culture yang bereaksi elegan terhadap persepsi sempit media Barat dalam memotret Islam. Mereka berani memperkenalkan ke komunitas Barat perspektif lain yang menggugat mainstream media Barat mengenai Islam.

Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah bahwa sebagian cerita Fitna, khususnya mengenai ceramah-ceramah agama yang menyebarkan kebencian terhadap non-Muslim mungkin ada benarnya. Kenapa banyak golongan non-Muslim sering mempertanyakan kebenaran aspek kekerasan yang melekat dalam gerakan-gerakan Islam. Artinya dalam umat Islam sendiri harus belajar menerima kritik dan melakukan refleksi internal bahwa memang ada sesuatu yang salah dalam pendidikan dan pengajaran agama Islam sejak kecil. Ceramah-ceramah provokatif baik di masjid atau di tempat-tempat pengajian yang mengajarkan umat Islam untuk membenci dan memusuhi non-Muslim seharusnya bisa dicegah oleh seluruh kaum Muslimin. Istilah Islam is under attack seharusnya tidak dijadikan justifikasi mempromosikan kekerasan dalam Islam. Sehingga jangan sampai ulah segilintir orang Islam merusak tatanan nilai-nilai Islam yang universal dan rahmatan lil ‘alamin.

5 comments:

gugun said...

ck...ck...ck...
hebatlah jendral......

Anonymous said...

Ril.. gue udah nonton film Fitna di YouTube.. well.. only part of it. Filmnya kan terbagi atas dua bagian. Gue ga kuat nonton 1st part-nya..
isinya ttg pengeboman yg dilakuin orang2 islam yg tidak bertanggung jawab. Jahat banget.. T_T

there's always two sides of a story. Why did he only brought up the bad side?? T_T

~Reni Suryo~

IL Sangaji said...

Reni, Film Fitna sebenarnya utuh satu bagian berdurasi 16 menitan. Di Youtube itu dibagi dua krn masalah teknis saja soal batasan size video yang diizinkan diupload, jadi harus di-split.
Anyway, Wilders ini karena sudah sering mengalami dan menyaksikan Islam yang buruk2 makanya dia kesel. Makanya tugas kita Ren sebagai Muslim untuk selalu menjelaskan kepada non-Muslim bahwa Islam itu damai. Caranya tentunya dengan damai pula dong! Akan jadi boomerang justru bagi Islam ketika ada orang2 Islam yang bereaksi keras terhadap film Fitna ini.
Salam alumni,
-MSS-

Anonymous said...

Good job...Well done, Il!!

Anonymous said...

Well...

Saya sudah nonton juga film Fitna itu. Seperti komentar diatas, "There are two sides of a story".

Bad side nya, seperti sudah kita ketahui sendiri.
"Good" side nya:
1. Dengan menonton film itu perzinahan mungkin akan berkurang.
2. Dengan menonton film itu mungkin Homoseks akan sirna.

Gila betul, mencegah dosa dengan berbuat dosa.

Masa sih Tuhan menyuruh kita (ciptaanNya) untuk membunuh ciptaanNya yang lain?

Wah! Ajaran apa itu?
Terlebih untuk membela Tuhan. Apa tuhannya mereka itu lemah? Sehingga perlu dibela?

Apa Tuhan kurang kuat, sehingga perlu dibela? Biar aja Tuhan yang hukum mereka yang berdosa. Jangan kotorkan tangan kita dengan darah orang lain.

Atau kita mau cari muka ke tuhan kali....? :)

Suatu pertanyaan. Kenapa sih tuhannya minta dibela? Atau pikiran mereka aja bahwa tuhan perlu dibela?

Hampir bisa dipastikan, janji masuk surga dengan menumpahkan darah orang lain. ITU SESAT.

ck...ck...ck...

Lihatlah buah perbuatan suatu umat itu secara umum, baru kita bisa menilai , apakah suatu itu benar adanya?

Apa sih, buah perbuatannya selama ini? Darahkah? Pertentangankah? Damaikah? Kesejahteraankah? Kerakusankah? Kesehatankah? Pendidikankah?

c'mon guys, be realistic.