Wednesday, July 30, 2008

Kings Island

Summer merupakan waktu liburan bagi orang Amerika. Hal ini menarik minat Permiasa untuk ikut menikmati liburan juga. Namun apa daya diawal summer season, sebagian Permiasa disibukkan dengan kuliah. Akhirnya setelah summer season I selesai, Permiasa merencanakan untuk berlibur. Tempat liburan yang dituju Permiasa adalah Kings Island, Cincinnati. Adalah Mas Adrian yang mencetuskan ide untuk berlibur ke Kings Island.

Hari pertama Permiasa menghabiskan waktu di Newport, Kentucky untuk menikmati kota Cincinnati dari kejauhan. Hari kedua, sekitar jam 10.00, kita semua sampai di Kings Island. Sebelum mengitari Kings Island, Mas Adrian menjelaskan denah lokasi dan titik pertemuan.

Lokasi pertama yang dikunjungi adalah Eiffel tower. Dari tempat ini kita dapat melihat seluruh Kings Island. Setelah mengambil beberapa foto, Permiasa menuju lokasi masing-masing. Sebagian besar Permiasa menuju ke The Racer, roller coaster pertama. Setelah mencoba The Racer, reaksi Permiasa bermacam-macam. Ada yang ketagihan namun ada pula yang trauma bahkan tidak ingin mencoba roller coaster lainnya. Beberapa orang yang ketagihan mencoba roller coaster kedua, Adventure Express. Menurut sebagian besar Permiasa, Adventure Express ini tidak lebih menakutkan dari The Racer.

Lokasi yang menjadi tujuan Permiasa adalah Drop Tower dan Extreme Skyflyer. Namun hanya beberapa Permiasa yang bernyali besar yang mencoba dua wahana ini, sisanya hanya menonton dengan jantung berdegup kencang. Lama beradu nyali, perut pun terasa lapar. Akhirnya Permiasa menuju Foodcourt untuk mengisi perut dan mengumpulkan tenaga.

Selanjutnya, Permiasa menuju ke Boomerang Bay, water park di Kings Island. Untuk menuju ke Boomerang Bay Permiasa menggunakan kereta api, Miami Railroad yang memakan waktu sekitar 5-10 menit. Sebagian warga Permiasa mencoba wahana air yang ada. Dari Great Barrier Reef yang merupakan kolam renang berombak, White Water Canyon, hingga Coolangatta Racer.

Menjelang sore, semua kembali ke Kings Island untuk duduk-duduk santai beristirahat. Setelah beristirahat sebentar, beberapa orrang masih ingin mencoba permainan yang ada. Mulai dari Reptar, "mini" roller coaster hingga Vortex yang merupakan roller coaster 'kelas berat" (rating 5).

Setelah puas seharian bermain dan beradu nyali di Kings Island, acara diakhiri dengan makan malam sambil menikmanti kembang api. Pukul 10.00 pm Permiasa kembali ke Athens.

Tuesday, July 29, 2008

Art Gish di Indonesia 5: Art Bingung Belanjakan Honor Wawancara dengan TV-One

Oleh M Chozin

Pagi ini (Rabu, 3/7/08) bertepatan dengan hari libur Isra' Mi'raj, kegiatan pertama Art Gish adalah wawancara dengan sebuah stasiun televisi TV-One. Berhubung acaranya akan ditayangkan secara live pada jam 7 pagi, kami sengaja datang jau lebih pagi. Selesai sholat shubuh, kami berangkat dari rumah Mas Putut di bilangan Cinere, Jakarta Selatan, menuju studio TV-One di gedung Nusantara, yang terletak di jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Kebetulan hari ini hari libur sehingga suasana jalan di Jakarta lengang tanpa ada kemacetan sebagaimana hari-hari biasanya.

Sampai di studio TV-One, nampak sudah menunggu Pak Azumardy Azra dan Pak Kyai Hazim Muzadi (ketua PB NU) yang akan mengisi acara dialog sebelum Art. Sambil menunggu persiapan acara, Art menyempatkan memperkenalkan diri dan ngobrol dengan mereka.

Tepat jam 7, acara bedah buku 'Hebron Jurnal" dimulai dengan di moderatori oleh dua orang presenter utama TV-One. Dalam acara dialog yang dikemas dalam rangkaian acara khas milis TV-One, Selama Pagi Indonesia tersebut, penampilan Art dan Mas Putut nampak excellent. Justru dua orang moderator dari TV-One lah yang nampak tegang dan kurang nyaman dalam membawakan acara. Analisis kami, hal itu disebabkan karena keterbatasan peguasaan bahasa Inggris kedua moderator. Analisis ini juga diperkuat oleh komentar dari salah satu teman kami, Unie, yang sempat menonton acara dari rumahnya.

Selesai acara, kami langsung menuju ke MP Bookpoint, markas Mizan yang juga sekaligus sebagai markasnya besarnya Mas Putut. Dalam perjalan pulang, Art Gish masih bingung dengan bagaimana cara membelanjakan uang Rp. 300.000, honor dari tampil di TV-One. Setelah rembugan dengan Saya dan Mas Putut, akhirnya Art berencana memberikan uang tersebut kepada Pak Sopir yang selama ini mengantar perjalanan kami. Sssst,...sampai saat ini, Pak Sopir belum tahu kalau akan mendapatkan uang honor milik Art tersebut. Lha,... soalnya kami mendiskusikan rencana tersebut dalam bahasa Inggris.

Ah, ...jadi ingat cerita-cerita waktu aku di pesantren dulu mengenai seorang Kyai Sufi yang diundang ceramah di suatu desa. Kyai tersebut tidak pernah menyimpan uang honor ceramahnya untuk dirinya sendiri. Suatu hari, selesai ceramah, penyelenggara pengajian memberikan amplop ke Pak Kyai sambil bilang, "Ini buat naik becak!". Dalam perjalanan pulang, ternyata uang tersebut semuanya diberikan kepada sang tukang becak yang mengantar pak Kyai.

Nah, kira-kira begitulah apa yang dilakukan Art Gish sekarang, beliau sedang bingung dengan honor hasil wawancara di TV-One. Berhubung Art diantar dengan mobil, maka bukan tukang becak yang akan beruntung, tapi pak Sopir yang dapat pulung mengantar Art. Lha soalnya, di kwitansinya tertulis "untuk biaya transport".Opo tumon...?

Art Gish di Indonesia 4: Keliling Jakarta, Jogja dan Bandung

Reporter: Chozin

Sementara kegiatan Permias di Athens sedang sepi karena liburan summer, kegiatan alumni OU yang di Indonesia justru sedang rame-ramenya. Saat ini (21-31 Juli), para alumni OU yang baru datang ke Indonesia disibukkan kegiatan penyambutan kedatangan Art Gish di Indonesia. Sebagaimana yang sudah diposting dalam milis alumni OU, Universitas Paramadina dan Penerbit Mizan secara khusus Art Gish ke Indonesia untuk menjadi pembicara dalam beberapa diskusi yang bertemakan perdamaian. Diskusi-diskusi tersebut diselenggarakan dalam ragka peluncuran buku Art yang berjudul “Hebron Journal”. Buku yang berisi pengalaman Art Gish dalam misi-misi perdamaiannya di Palestina tersebut di diterbitkan oleh Penerbit Mizan dalam bahasa Indonesia.

Rangkaian acara diskusi tersebut diselenggarakan dalam tiga kota yaitu: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Di Jakarta acara diskusi secara berantai diselenggarakan di Universitas Paramadina, cafe buku MP Bookpoint milik Mizan, dan studio televisi Channel One. Selain itu, Art juga sempat diwawancarai oleh beberapa media besar seperti Kompas dan Republika.

Di Yogyakarta, rangkaian diskusi bersama Art Gish diselenggarakan di Program Pasca Sarjana UGM, Penerbit LKiS, Ponpes Mlangi, dan Auditorium Fakultas Filsafat UGM. Terlihat beberapa alumni OU yang tinggal di Yogya seperti Elis Anis dan Chozin terlibat dalam arrangement perjalanan Art di Yogya. Selain menyempatkan diri mengunjungi Borobudur, Art juga menyempatkan diri untuk dinner bersama di rumah Elis dan kemudian menginap di rumahnya Chozin.

Di Bandung, Art di sambut oleh orang-orang dari group penerbit Mizan. Beberapa forum diskusi di bandungpun diselenggarakan, diantaranya di sekitar masjid Salman. Di kota inilah Art mendapatkan kenang-kenangan paling mengesankan dari para aktivis berupa kaos bergambarkan dirinya yang sedang menghadang tank dengan tulisan di bawahnya “LOVE against Machinary GUN”.

Selesai melakukan perjalanan dari Bandung, hari ini (29/7) Art kembali ke Jakarta untuk selanjutnya akan kembali ke AS hari Kamis (31/7). Selesai diskusi di MP Bookpoint, Art disambut oleh beberapa alumni OU dalam sebuah acara makan malam bersama di sebuah restoran khas Jawa Barat. Nampak hadir beberapa alumni OU diantaranya: Putut Widjanarko, Rudi Iskandar, Esky Suyanto (bersama suami), Pak Ganda Upaya, M Chozin, Sandra Nahdar, dan Sri Murniati (Unie).

Art Gish di Indonesia 3: Art Gish, Pejuang Perdamaian yang "Kaffah"

Pengantar:

Mulai tanggal 21 Juli 2008 ini, Universitas Paramadina dan Penerbit Mizan mengundang Art Gish untuk datang ke Indonesia dalam rangka peluncuran bukunya berjudul "Hebron Journal" yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Berikut adalah tulisan pengantar dari Mas Putut dalam mengiringi perjalanan Art Gish di Indonesia.


ART GISH, PEJUANG PERDAMAIAN YANG "KAFFAH"

Oleh : Putut Widjanarko

Hari itu, di sebuah Jumat di tahun 2003, beredar kabar di masyarakat Muslim di Athens, kota kecil di bagian tenggara negara bagian Ohio, AS, kalau Art Gish melakukan tindakan luar biasa di Pales­tina beberapa waktu sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, ia menghadang tank Israel yang berniat menghancurkan pasar orang Palestina, hingga moncong tank itu berhenti hanya beberapa senti­meter dari mukanya. Tank itu kemudian meng­alihkan jalannya. Belakangan, ketika duduk ber­samanya di pojok ruang utama gedung Islamic Center seusai shalat Jumat, saya tanya Art bagai­mana dia bisa seberani itu. Saya persisnya lupa jawaban Art, tetapi kira-kira begini: Keberanian itu datang dari Allah, dan saya hanya merespons apa yang hanya dan harus saya lakukan saat itu. Tak kurang dan tak lebih.

Selama kurang lebih enam tahun tinggal di Athens untuk menempuh pendidikan di Ohio Uni­versity antara 2001-2007, saya cukup sering ngobrol dengan Art. Biasanya saat-saat se­telah shalat Jumat, atau kesempatan lain ke­tika buka puasa bersama dan shalat tarawih. Be­berapa kali saya mengadakan janji berjumpa deng­annya di Alden Library, perpustakaan uni­versitas, untuk mengobrol. Lelaki berjenggot tebal dan murah senyum ini memang enak diajak ngob­rol.

Art tumbuh besar dalam lingkungan gereja yang menganut paham pasifis atau paham mut­lak anti-kekerasan. Paham ini menolak segala bentuk kekerasan. Dia telah aktif dalam kegiatan perdamaian selama 50 tahun, dan ikut terlibat dalam gerakan pembelaan hak-hak sipil serta bekerja bersama Martin Luther King, Jr. Art juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan anti-Perang Vietnam. Setiap Senin, dia melakukan peace vigil selama satu jam di depan gedung wali kota. Sering dia hanya sendirian, atau bersama istri­nya, Peggy Gish, kalau yang bersangkutan juga sedang tidak keluar kota. Mereka berdiri di depan gedung wali kota, menghadap ke jalan, dan meme­gang poster. Isunya macam-macam, yang intinya me­ngenai perdamaian. Suami-istri Gish telah mela­kukan hal ini selama 25 tahun, tanpa henti dengan teguh, setiap Senin, kecuali jika mereka se­dang di luar kota. Semangat dan mimpi akan per­damaian di dunia memang sudah mendarah daging bagi ke­duanya.

Art dan Peggy adalah anggota organisasi per­damaian Christian Peacemaker Teams (CPT). Jika wilayah kerja Art adalah Palestina, maka Peggy aktif di Irak. Sejak 1995, Art pergi ke Palestina setiap musim dingin sekitar tiga bulan. Jadi, sam­pai 2008 ini, Art telah pergi ke Palestina sebanyak 13 kali. Kegiatan Art di Palestina bermacam-ma­cam, yang intinya adalah mendorong upaya-upaya perdamaian di sana. Kadang-kadang dia meng­antar anak Palestina ke sekolah, karena dalam perjalanan ke sekolah itu sering anak-anak Pales­tina mendapat serangan atau cemoohan dari para pemukim (settlers) Yahudi dan bahkan dari tentara Israel. Seperti diceritakan dalam buku ini, sehari-harinya orang-orang Palestina mengalami hina­an baik dari para pemukim maupun tentara. Ke­ha­diran secara fisik aktivis perdamaian seperti Art, apalagi kalau membawa kamera, membuat para settler atau tentara menahan diri karena kha­watir diekspos lebih besar. Selain itu, Art bersama-sama dengan aktivis perdamaian dari Israel dan Palestina melakukan program-program perda­mai­an bersama.

Hubungan Art dengan masyarakat Muslim di Athens sangat baik. Kalau tidak keluar kota, dia hampir pasti ikut acara-acara yang dilakukan di Islamic Center of Athens. Dia mulai mengenal komunitas Muslim di Athens, yang sebagian besar mahasiswa, ketika datang pada acara open house pada akhir 1980-an, dan mulai bergabung ikut shalat pada sekitar 1998. Dia ikut datang hari Jumat, dan ikut shalat Jumat berjamaah. Pada bulan Ra­ma­dhan, dia berpuasa dan juga ikut buka puasa bersama, shalat magrib, isya, dan tarawih ber­jamaah bersama kaum Muslim yang lain. Suatu saat, dia memberi tahu saya bahwa dia sudah bicara dengan beberapa orang di Athens yang akan siap melindungi kaum Muslim dan ke­luarga­nya, kalau-kalau mereka mendapat ancaman ke­kerasan dari kaum Kristen Kanan. Saat itu, ke­caman kaum konservatif Kristen Kanan di media-media terhadap Islam memang menguat. Jika saja terjadi serangan pengeboman di Amerika, bukan tidak mungkin kaum Muslim yang tinggal di Amerika akan menjadi sasaran pembalasan. Art sangat kha­watir memikirkan kemungkinan itu, dan karena­nya sempat berbicara dengan be­berapa orang di Athens untuk mengantisipasi­nya.

Istri Art, Peggy Gish, juga aktivis perdamaian yang teguh. Hanya, kalau Art aktif di Palestina, wi­layah kerja Peggy adalah Irak. Ibu yang ber­wajah teduh dan bertubuh kecil ini tak dinyana menyimpan energi dan tekad yang besar. Se­bagai bagian dari CPT, Peggy telah berada di Irak bah­kan 5 bulan sebelum tentara AS menyerbu Irak. Dalam satu percakapan sebelum Peggy berang­kat, dia mengatakan dengan sebisanya mereka akan mencoba menentang serbuan AS dengan menjadi semacam human shield (perisai manu­sia) di Bagdad. Peggy dan kawan-kawannya tetap tinggal di Irak ketika pengeboman Bagdad di­mulai. Menurut Art, selama enam tahun ter­akhir ini, Peggy menghabiskan separuh waktu hidup­nya di Irak.

Salah satu kegiatan utama CPT di Irak adalah mendokumentasikan pelanggar­an-pelanggaran yang dilakukan oleh tentara pen­dudukan, men­dampingi keluarga-keluarga men­cari anggota-anggota mereka yang hilang, dan juga bekerja sama dengan organisasi lokal sema­cam Muslim Peacemaker Team. Akibat aktivitas ini, CPT tidak disukai oleh tentara pendudukan. CPT selalu ber­usaha menyebarkan temuan mereka ini, tetapi tidak pernah mendapat perhatian serius dari me­dia di AS. Mereka bahkan tahu lebih dulu pelang­garan HAM oleh tentara-tentara AS di Pen­jara Abu Ghraib. Tetapi, kasus ini meledak hanya setelah wartawan masyhur Seymour Hersh me­nulisnya di The New Yorker.

Kegiatan CPT di daerah yang berbahaya ini telah memakan korban beberapa anggota CPT, ketika beberapa anggota mereka diculik oleh pi­hak tak dikenal dan ditemukan tewas beberapa saat kemudian. Peggy sendiri sempat diculik oleh kelompok orang tak dikenal. Komunitas Muslim di Athens sangat prihatin mendengar kabar itu, dan ikut bersyukur ketika beberapa saat kemu­dian Peggy dibebaskan. Kata Peggy, salah satu yang membuatnya bebas adalah karena dia me­nun­­jukkan foto Art yang sedang menghadang tank Israel itu kepada para penculik. Rupanya para penculik itu terkesan.

Art dan Peggy tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana di pertanian di luar Kota Athens. Rumah itu begitu sederhana, bahkan untuk ukur­an orang miskin di Amerika. Seorang teman saya, Ihsan Ali-Fauzi, mempunyai cerita menarik untuk menggambarkannya. Suatu kali, dia mengantar beberapa tokoh muda Muslim Indonesia yang sedang berkunjung ke Athens, dalam sebuah pro­yek yang diselenggarakan oleh Ohio University. Salah satu tujuannya adalah berkunjung ke rumah Art Gish, dengan menumpang bus dari universitas. Setelah beberapa saat sampai di sana dan me­lihat kondisi rumah Art Gish, sopir bus itu berbisik dengan jengkel ke Ihsan. Kata sopir bus itu, kurang lebih, kalau ingin membawa rombongan tamu, mendingan ke rumah dia saja, tidak ke rumah Art yang "malu-maluin" itu.

Karena sangat peduli dengan lingkungan, mereka adalah petani yang meyakini sistem per­tanian organik, sehingga, misalnya, mereka tidak memakai pupuk kimia untuk menyuburkan ta­nam­an mereka. Mereka membuat pupuk kom­pos dari bahan-bahan alami yang ada. Sampai-sampai, mereka tidak memiliki WC, karena mereka juga memanfaatkan "limbah buang air besar" untuk bahan pupuk. Hasil pertanian mereka akan dijual ke Farmers' Market yang diadakan dua kali seminggu di Kota Athens. Jika ikut berbuka puasa bersama atau jika ada acara makan-makan di Islamic Center, Art selalu membawa ember kaleng. Tujuannya untuk menampung tulang-tulang, biji-biji kurma, dan makanan sisa untuk nanti dijadi­kan­nya pupuk kompos. Yang sering membuat saya malu sendiri pada kesempatan-kesempatan semacam itu adalah bahwa Art tidak pernah mau memakai piring, gelas, atau mang­kuk sekali-pakai yang terbuat dari styrofoam yang disediakan di situ. Padahal saya tahu, dan saya yakin sebagian kaum Muslim di Athens tahu, bahwa bahan ini termasuk yang paling tidak ramah lingkungan, termasuk bahan yang paling sukar menyatu kem­bali dengan alam. Art selalu mem­bawa piring dan gelasnya sendiri karena tidak ingin menambah polusi di bumi ini. Art juga se­lalu menghabiskan licin tandas makanan yang diambilnya. Selesai makan, dia akan menjilati pi­ringnya untuk me­mastikan tidak ada makanan yang tersisa.

Bagi saya, Brother Art, begitu biasanya kaum Muslim di Athens menyapanya, adalah orang yang berkepribadian luar biasa. Setiap kali di depan dia, saya selalu merasa kecil, mengingat begitu banyak hal yang telah dilakukannya untuk orang Palestina maupun umat manusia secara keselu­ruhan. Dia sebuah pribadi dengan keyakin­an yang total, yang "kaffah". Sekadar sebuah ben­tuk apre­siasi kecil, saya pernah menghadiah­kan sepo­­tong kemeja batik baru untuknya. Pada Jumat berikutnya, dia memakainya ketika shalat Jumat di Islamic Center. Ukuran baju itu pas sekali di tubuhnya. Dan dia tampak gagah. Tetapi, tetap saja itu apresiasi yang terlalu kecil untuk karya kemanusiaannya yang luar biasa.

Art dan Peggy adalah cermin bening yang memantulkan bayangan-bayangan indah. Ada bayangan seorang humanis yang prihatin ke­pada nasib orang-orang tertindas, ada juga pluralisme religius in its best yang tak dinodai sekadar pame­ran kekenesan intelektual, lalu kecintaan seorang environmentalis kepada alam yang dermawan memberi hidup kepada penghuninya, gaya hidup zuhud kaum sufi, dan sikap cinta damai total se­orang Muslim. Art adalah sebuah exemplar, yang amat dibutuhkan untuk memancarkan secercah sinar ke atas bumi-manusia yang rasanya makin gelap dengan tingkah polah kerumunan makhluk yang lebih sering kehilangan kemanusiaannya. Art adalah cahaya di ujung terowongan peradab­an, betapapun gelap dan panjangnya terowong­an itu. Meski malu, setiap kita perlu becermin padanya, dan tanpa ragu masuk ke barisan yang dibentuknya. Agar kita bisa mengklaim kembali kemanusiaan kita yang terancam aus oleh se­rang­an banalisme yang terus-menerus mengharu-birunya.

Jakarta, 26 Juni 2008

Sunday, July 27, 2008

Dua Mahasiswi OU Belajar Bahasa di Salatiga, Indonesia

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, setiap summer beberapa mahasiswa Amerika yang kuliah di OU tinggal di Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia. Mereka biasanya di sponsori oleh The Consortium for the Teaching of Indonesian and Malay (COTIM) (http://www.ohiou.edu/COTIM/) atau Yayasan USINDO (Yayasan US-Indonesian Society) (http://www.usindo.org/).

Summer tahun 2008 ini, dua orang mahasiswa OU yang beruntung dapat beasiswa COTIM ke Indonesia adalah Molly Roth dan Katherine Shaw. Bersama 10 orang mahasiswa Amerika dari kampus lainnya, mereka mengikuti kelas-kelas intensif bahasa Indonesia di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah sampai tanggal 15 Agustus 2008.

Di Salatiga, Molly (mahasiswa S1 OU jurusan International Studies) mengambil kelas Advanced Indonesia, sementara Kat (S1 OU jurusan Anthropology) mengambil Elementary Indonesia. Meskipun sempat mengalami beberapa kali shock culture, kedua mahasiswi tersebut nampak enjoy sekolah di UKSW.

Selain mengikuti kelas-kelas, mereka juga menyempatkan diri jalan-jalan ke kota lain, diantaranya Yogyakarta, yang hanya berjara 3 jam dari Salatiga. Di Yogyakarta mereka menginap di rumahnya Chozin. Selama lima hari (14-18 Juli) mereka mengunjungi dan bertemu dengan tokoh-tokoh LSM perempuan dan lingkungan hidup di Yogya. Wawancara-wawancara terebut merupakan bagian dari tugas untuk membuat tulisan akhir. Pada penutupan kelas nanti bulan Agustus nanti, mereka harus menyerahkan tulisan dalam bahasa Indonesia sepanjang 10 halaman. Nah looo....!

Art Gish di Indonesia 2: Art Gish dan Aksi Non-Kekerasannya Melawan Israel

Arthur G. Gish, tokoh yang sedang kita bicarakan ini, tak bisa dilepaskan dari kiprah Christian Peacemaker Teams (CPT). CPT adalah bagian dari sebuah gerakan non-kekerasan yang telah terbangun selama lebih dari 50 tahun terakhir. Salah satu dari kontribusi CPT paling penting di abad ke-20 adalah dikembangkannya teori dan strategi aksi langsung non-kekerasan. Dengan segera seseorang berpikir tentang Gandhi dan perjuangan kemerdekaan di India, Martin Luther King Jr. dan Gerakan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat.

CPT adalah bagian dari sebuah gerakan intervensi penduduk yang tengah berkembang dalam situasi konflik, seperti yang dicontohkan oleh kelompok-kelompok seperti Balkan Peace Teams, Peace Brigades International, Witness for Peace, dan Nonviolence International. Kelompok-kelompok ini melatih orang-orang biasa untuk pergi tanpa senjata memasuki situasi-situasi yang dipenuhi konflik. Di seluruh dunia orang-orang mulai menyadari bahwa perdamaian terlalu penting untuk diserahkan kepada pemerintah maupun para ahli.

Menurut Putut Widjanarko, salah seorang yang mengenal Art Gish ketika tinggal di Athens, Ohio, AS, Art tumbuh besar dalam lingkungan gereja yang menganut paham pasifis, atau paham mutlak anti-kekerasan. Paham ini menolak segala bentuk kekerasan. Dia telah aktif dalam kegiatan perdamaian selama 50 tahun, dan ikut terlibat dalam gerakan pembelaan hak-hak sipil serta bekerja bersama Martin Luther King, Jr. Art juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan anti Perang Vietnam. Setiap hari Senin, dia melakukan peace vigil selama satu jam di depan gedung walikota. Sering dia hanya sendirian, atau bersama istrinya, Peggy Gish, kalau yang bersangkutan juga sedang tidak keluar kota.

Apa yang dilakukan dan dipikirkan Art, terkait dengan aksi perdamaian dan aksi heroiknya ketika menghadang tank Israel, kini dapat dinikmati lewat karyanya yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Judul karya Art dalam edisi Indonesia adalah Hebron Journal: Catatan Seorang Aktivis Perdamaian dari Amerika di Palestina yang Melawan Kekejaman Israel dengan Jalan Cinta dan Anti-Kekerasan. Buku karya Art ini merekam pengalaman seorang sukarelawan penjaga perdamaian di Palestina. Pada 1995 hingga 2001, Art Gish hidup bersama keluarga-keluarga Muslim dan melakukan aksi-aksi anti-kekerasan menentang kekejaman Zionis Israel.

Bagi para pencinta perdamaian, buku Art Gish ini tentu merupakan buku yang tidak dapat dilewatkan begitu saja.[]

Sumber: Mizan Publishing, http://mizan.com/index.php?fuseaction=emagazine&id=18&fid=187

Art Gish di Indonesia 1: Art Gish dan Moncong Tank Israel

“Mungkinkah cinta mengalahkan kebencian?” tulis Franz Magnis Suseno ketika memberikan kata-kata pujian (endorsement) untuk karya Art Gish, Hebron Journal. Setelah menyebar kalimat mengundang tanya tersebut, Franz Magnis melanjutkan, “Gish dan timnya membuktikannya. Dengan mengekspos diri, tidak memaksa dan mengancam, mereka berhasil membuka kemanusiaan dalam lubuk hati yang total terperangkap dalam neraka kekerasan. Sebuah buku harapan yang memberi harapan.”

Sebuah buku harapan yang memberi harapan? “Aku berteriak kepada tentara-tentara Israel itu, apakah mereka bangga atas perbuatan mereka,” tulis Art Gish dalam Hebron Journal. “Apakah ini namanya perdamaian? Apakah ini Israel yang mereka cita-citakan? Seorang tentara meludah ke arahku, jadi aku langsung mendekatinya dan mempersilakannya meludahiku. Dia menolak tawaranku.”

Kisah heroik Gish tidak berhenti di situ. Di tempat lain, di catatan-catatannya, Gish menulis, “Sebuah tank datang menderu di hadapanku. Moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, ‘Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai! (Terpujilah nama Tuhan!’) Tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku. Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, dan tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.”

Dalam membela rakyat Palestina, Gish tak jarang harus menempuh bahaya, seperti menghadang tank dan buldoser yang akan meratakan rumah dan pasar, atau menghadapi todongan senapan tentara Israel. Gish juga berusaha menjembatani hubungan umat Muslim, Yahudi, dan Kristen di Palestina yang telah terpecah belah akibat politik Zionis.

Arthur G. Gish telah aktif selama 40 tahun mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Sejak muda, dia terlibat dalam gerakan menentang keterlibatan AS dalam semua perang. Setelah pengabdian pertamanya di Palestina, setiap tahun Gish tinggal beberapa bulan di Palestina untuk memperjuangkan nasib rakyat Palestina.[]

Saturday, July 26, 2008

"Puisiku Bermimpi", Testimoni IL Sangaji Meninggalkan Athens

Oleh M Syahril Sangaji

Mantan pacarku yang baru saja kutinggal pergi bertanya dalam sebuah obrolan menjelang tidur: "Apa yang akan kamu bawa pulang dari Amerika? Aku hanya bisa membawa MacBook White , Aku juga membawa majalah Playboy sebagai oleh-oleh teman priaku."
Mantan pacarku bertanya lagi: "Lalu apa yang kamu tinggalkan yang akan membuat kamu rindu? Aku tinggalkan satu paket trinitas berharga: Permias, Ohio University, dan Amerika"

Masih penasaran ia ajukan pertanyaan lain dengan isi yang sama : "Adakah sesuatu yang membuatmu tidak bisa mengucapkan goodbye kepadanya? Ada! Paket trinitas lain yg paling berharga dan tak akan pernah lepas dari jiwaku: Integrity, Professionality, and Honesty atau Integritas, Profesionalitas dan Kejujurinitas."

Sambil mencolek menepuk-nepuk pundakku, mantan pacarku bertanya memelas: "Tapi kamu masih akan tetap ingat aku kan?" Daripada panjang kujawab saja "iyaaa..." sambil memplototi pramugari cantik Cathay Pacific yang berkata “excuse me sir! Do you prefer to have Muslim meal?"

Catatan: Kirain Muslim meal itu makanan non-pork. Ternyata yg disajikan adalah Middle Easter food. What the health!!!

Hongkong, 25 Juli 2008, 3.41 pm.

PERMIAS Athens Kembali Akan Dikunjungi Pejabat dari KBRI di Washington DC

Laporan dari Eko Junor

Hari ini (7/260), Permias mendapatkan kabar dari Ibu Enda (staf Atdiknas KBRI) dan Bpk Chalief Akbar (Kepala Bidang Pensosbud KBRI) mengenai rencana kedatangan Deputy Chief of Mission (DCM) KBRI di Washington, Bapak Salman Alfarisi, ke Athens.

Rencananya beliau akan datang pada tanggal 7 Agustus 2008 untuk bertemu dengan Vicky West (OU Graduate Office) dan Karla Schneider (International Studies). Dalam kunjungannya tersebut, rencananya juga akan diadakan acara dinner bersama para anggota PERMIAS.


Monday, July 14, 2008

Auf Wiedersehen und Willkommen

Reported by: Mondi

Kemarin jam 11 siang waktu Athens raya, seorang MAIA baru pulang ke tanah air tercinta. Sekarang semua MAIA angkatan 2006 sudah pada ninggalkan Athens.Dua orang yang masih ada di Amerika adalah Il yang masih ada di New York dan lagi mubeng sama iPhone sedangkan satunya adalah Chozin yang sedang conference di Florida(?). Tanggal 12 kemaren adalah hari piknik terakhir bersama Unie sebelum pulang ke Indonesia. Warga permias nga semua datang tapi bagi yang datang mereka setidaknya ditawari barang2 peninggalan Unie. Mbak Riri, warga baru permias, juga datang dan terlihat menikmati acara. Mas Faisol, yang juga warga baru, tidak datang karena harus masuk kelas. Makanan di piknik di buatkan oleh Unie sendiri yaitu semur dan salad sedangkan Arin mempersembahkan masakan andalannya yaitu lumpia yang memang enak rasanya. Kemarin malam permias kedatangan 1 anggota baru lagi dari Ford juga bernama Aisha (apa ada Fachri nya?? :D). Demikian pemberitaan singkat dari Athens. See ya!

Friday, July 04, 2008

Kode Sandi untuk Ngetes Jika Ketemu Alumni OU

Oleh Chozin

Dengan jumlah 1000 lebih mahasiswa internasional dari sekitar 100 negara, kuliah di OU, selain sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan, juga merupakan sarana untuk membangun jaringan pertemanan dengan berbagai orang dari berbagai bangsa dan latar belakang. Saat ini, kemanapun kita pergi, akan dengan mudahnya bertemu dengan orang yang pernah kuliah atau minimal punya hubungan sejarah dengan OU. Seperti baru saja dilaporkan oleh alumni OU dari Aceh, Zulfikar, yang kini sedang mengambil S3 di Australia:

“…pagi saya ketemu sama mantan dosen (OU –red) yaitu Pak Harry/Harry Aveling. Kebetulan saya pake baju jaket OU dan mau beli capucino, eh.. tiba-tiba Pak Harry yang lagi berpapasan dengan saya ngomong "Eh pernah kuliah di OU ya?" katanya, yach akhirnya kita berbicara panjang lebar. What a small world ya…?”.

Pak Harry Aveling beruntung bertemu dengan pemakai kaosu OU yang betul-betul alumni OU. Jika Pak Harry di Indonesia, barangkali beliau akan kecele. Soalnya tidak semua orang yang memakai kaos OU di Indonesia adalah orang OU, bisa jadi mereka adalah teman atau saudara dari alumni OU yang kebetulan mendapat oleh-oleh kaos OU. Seperti kita ketahui bersama, orang mahasiswa Indonesia di OU paling suka membawa oleh-oleh pulang berupa kaos OU.

Oleh karena itu, untuk mengetes apakah seseorang itu alumni OU atau bukan, perlu ada kata sandi. Kata sandinya adalah O-H dan I-O, maksudnya jika bertemu seseorang yang diduga adalah alumni OU, maka ucapkanlah: “O-H!!! ”. Jika orang tersebut adalah alumni OU, maka dia harus menjawab dengan: “I-O !!!”. Jika tidak menjawab, maka meskipun dia memakai atribut OU dia bukan alumni OU.


Thursday, July 03, 2008

Acara Syukuran Keluarga Adrian Budiman


Photo by: Eko Junor
Reported by: Merlita (iTa)

Bertempat di Richland Avenue Park, Sabtu, 28 Juni 2008 kemarin, acara BBQ bareng yang digelar oleh Mas Adrian sekeluarga, selain untuk syukuran kelulusan PhD Mas Adrian di bidang Telecommunication, juga sebagai farewell party Mas Adrian sekeluarga dan teman-teman Permias lain yang akan meninggalkan Athens dan kembali ke tanah air dalam waktu dekat ini.

Mbak Tiwi, istri mas Adrian dibantu Bu Yojo yang notabene master of cookingnya ibu2 di Athens, menyajikan hidangan yang lezat dan mantap sekali, termasuk ayam bakar yang jadi menu utama, siomay lengkap dengan bumbunya ala Ibu Firman beserta anak-anak kostnya pun nggak kalah lezatnya, ditambah dengan es buah yang super seger hasil racikan Mbak Mila dan Mbak Lina. Acara dimulai dengan ramah-tamah, BBQ ayam, olahraga (main kasti, bola, kejar2an..), ibu2 dan beberapa calon ibu2 menata meja hidang.

Walaupun thunder storm turun seperti yang diperkirakan, tapi itu semua tidak menghambat acara yang memang sudah didesain sedemikian rupa untuk menghadapi berbagai macam situasi. Dibawah shelter yang nyaman, acara tetap berjalan sesuai rencana, makan malam bersama dan dilanjutkan dengan pembacaan testimonial yang ditujukan untuk Mas Adrian and family dan Mas Rudi.

Pembacaan testimonials seru banget, bahkan disisipi game menarik untuk penerima testimonial; "menebak siapa pemberi testimonial". Arin, presiden Permias yang sudah menyiapkan beberapa kertas undian yang isinya testimonials kemudian dibacakan randomly ditambah dengan gaya2 khas masing2 pembacanya menambah suasana makin hangat dan ramai.

Setelah testimonials dibacakan, acara diisi dengan menyanyi bersama, gitaris-gitaris Permias seperti Mas Rudi, Mas iL, dan Mbak Mila, bahkan Arin pun turun tangan untuk ikut mengiringi penyanyi-penyanyi dadakan dari Athens. persembahan khusus duet maut mas iL dan Mbak Wini "Kangen" by Chrisye untuk Mbak Tiwi dan Mas Adrian pun sangat menghanyutkan suasana sore itu, setelah itu giliran Amira yang diberi kado "Bleeding Love" by Leona Lewis oleh duet maut kita ini :D.

Acara berlanjut dengan kesan2 dari sahabat-sahabat internasional kita seperti Pang (Thailand), Animesh (India), Kenny (Malaysia), dan Adam (US) nggak lupa dari Ibu Suri kita Mbak Lina, dan Bapak kita Pak Yojo. Acara ditutup dengan pembacaan doa dan foto bersama.

"All I can see here, there are respect, friendship, and love between you guys"
kutipan dari Pak David salah seorang warga Athens penjaga taman Richland nan asri itu yang gabung dengan kita mulai dari awal acara sampai akhir.

"Sangat kekeluargaan dan buat saya jadi awet muda" kata Mbak Tiwi.

Sampai jumpa Mas Adrian, Mbak Tiwi, Om Rudi, Amira, dan Aditya. Tetap berkarya sesampainya di tanah air. Semoga ilmu dan kesuksesan yang telah diraih dapat membawa manfaat untuk rakyat dan tanah air tercinta kita, Indonesia.



Tuesday, July 01, 2008

Temu Alumni OU di Jakarta



Foto by Ezki

Reported by Chozin (berdasarkan email-email di mailist alumni Indonesia-OU)

Jakarta (29/6/08). Menyaingi semaraknya kegiatan mahasiswa Indonesia di Ohio University, para alumni OU yang di Indonesia-pun tak mau ketinggalan, mereka menyelenggarakan acara temu alumni OU. Temu alumni berlangsung pada tanggal 29 Juni 08, bertempat di rumah Ezki, Kayumanis 8 No 10B, Matraman, Jakarta.

Menurut laporan dari tuan rumah, “reuni berjalan baik dengan guest star Mbak Erda (Banjarmasin) yang berhasil mengecoh para undangan karena semua nanya "mana Rudi? Mas Ihsan (yang aktif di Paramadina) juga membawa sebundel majalah Madina untuk Mas Rudi sebagai oleh oleh.” Sayangnya Mas Rudi masih di Athens dan baru berencana untuk kembali ke Indonesia bulan Juli (red). “Mbak Erda nya senyum senyum aja tuh ternyata peserta tertipu dikira kita bikin welcome party, eh… ternyata Mas Rudi balik tgl 5 Juli.”

Tercatat beberapa peserta yang hadir yaitu: keluarga Mas Ihsan and Mbak Ida, keluarga Mas Putut and Mbak Elin , keluarga Ratri and Toni, kuri, Gigin, Mbak Erda, keluarga Mas Yudi and Mbak Nita, Rizal dan Ezki.” Menurut Mbak Kurie, alumni OU yang kini bekerja di Tempo, acara reuni tersebut hampir persis formasi kala di Athens (2003-2005), ketika para single-wan dan single-wati diemong oleh para keluarga lokal: Putut's, Icang's, Rudi's, Adrian's, dan Pak Yojo's serta Pak Fauzi's. Tanpa ketinggalan, menu-menu favorit para alumni juga disediakan, diantaranya: Pecel, Bakso, Siomay, Cendol, kue-kue, dan soft drink.

Acara temu alumni tersebut juga mendapat sambutan hangat dari alumni OU yang masih di AS, seperti Sukidi (alumni OU yang kini masih PhD di Harvard, Boston) dan juga Adrian (yang baru saja menyelesaikan PhD-nya di komunikasi OU dan kini sedang siap-siap untuk pulang kampung). “Buat teman di Indonesia... I'm jealous! Biarpun lewat foto, tapi kami bisa merasakan kehangatan reuni bobcat di Jakarta,” komentar Adrian. Sementara itu Meta (alumni OU yang kini mengajar di Unhas, Makassar) yang tidak bisa hadar mengusulkan pertemuan lanjutan BAA (Bobcats Alumni Association - istilah untuk alumni OU) di Yogyakarta.