Saturday, March 29, 2008

Belajar dari Fitna: Perlu ada Metode Tafsir Alternatif untuk Ayat-Ayat Perang

Oleh Sri Murniati (Unie)

Teman saya mengirim link website film berjudul Fitna yang dibuat oleh politisi Belanda, Geert Wilders (sayangnya, sekarang filmnya sudah dihapus dari website tersebut). Film ini secara umum mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Muslim dan retorika kekerasan yang berputar di kalangan masyarakat Muslim memang mendapatkan justifikasi dari kitab suci umat Islam, al-Qur’an. Ada 5 ayat al-Qur’an yang dikutip film tersebut yaitu Qs. Al-Nissa (4): 56 dan 89, Qs. Al-Anfal (8): 39 dan 60, serta Qs. Muhammad (47): 4.

Otak saya agak cukup mendidih juga ketika pertama kali menonton film dokumenter itu. Bagaimana tidak? Ayat-ayat tersebut ditampilkan dan dibacakan bersama-sama dengan foto-foto tragedi penghancuran gedung WTC, bom London, bom Madrid, pembunuhan Theo Van Gogh di Belanda, ancaman terror, ungkapan-ungkapan tanpa sesal oknum muslim yang pernah melakukan terorisme, perempuan Afghnistan berjubah yang ditembak tak berdaya oleh laki-laki berpakaian Muslim, dan dengan puluhan gambar mengerikan lainnya, yang membuat wajah buruk Islam komplet sudah. Pokoknya islam dan muslim itu doyan kekerasan, anti kebebasan, ingin mendominasi dunia, serta merendahkan martabat dan membatasi hak perempuan. Akhir video ditutup dengan kampanye “stop islamisasi”.

“Huh…, berat tarikan nafas saya. Sangat simplisistik, menggeneralisir, dan tentu saja provokatif. Bagaimana akan terjadi dialog antara mereka yang mengaku sebagai pejuang “kebebasan dan hak asasi manusia” dengan muslim yang dianggap tidak suka kebebasan, kalau image yang ditampilkan oleh kedua belah pihak selalu sepihak?

Meski demikian, ada point dalam film itu yang perlu menjadi bahan pemikiran bagi umat Islam terutama tentang bagaimana kita memahami dan bersikap terhadap ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an yang literally memotivasi untuk melakukan kekerasan (ayat-ayat qital).

Saya agak tergoda dengan pilihan ayat yang ditampilkan di film tersebut. beruntung sekali karena saya sempat mencatat terjemahan ayat-ayat Qur’an yang ditampilkan di situ. Terjemahan ditampilkan dalam bahasa Inggris. Agak mengerikan memang, kalau tidak tahu Bahasa Arab sama sekali. Sekedar gambaran: to strike the terror into the heart of enemies”, “to roast those who have disbelieved our signs”, “smite at the unbelievers’necks if you meet them”. Sambil menuliskan kata-kata itu saya bergumam dalam hati, “pasti terjemahan ini dilebih-lebihkan”. Apalagi sang pembuat film memang tidak mencantumkan sumber terjemahannya.

Sampai di rumah, saya cek Terjemahan Qur’an Mohammed Marmaduke Pickthall (The Meaning of the Glorious Quran) dan Yusuf Ali (The Holy Quran). Saya kecele, terjemahan mereka memang tidak jauh beda. Yang agak dilebih-lebihkan barangkali kata-kata “strike terror” yang digunakan untuk menerjemahkan kata “yurhibuna”. Nampaknya sang pembuat film memanfaatkan terjemahan modern kata ini. Terorisme dalam bahasa Arab memang irhab.

Setelah saya cek terjemah, saya mulai membaca teks qur’annya. Saya baca berulang-ulang. Maaf dikata, ayat-ayat yang sudah ratusan kali saya baca dan tak pernah menyebabkan reaksi apapun sebelumnya, rasanya kini agak cukup menggangu. Kata “perangi”, “pancunglah batang leher”, “tawan dan bunuhlah mereka” bertebaran dalam ayat-ayat tersebut.

Umum diketahui, soal menyimpulkan hukum dari nash qur’an biasanya para ulama menyarankan untuk menggunakan kaidah ushul fiqh “al hukmu biumum al lafdzi la bikhusus al-sabab” (hukum itu diturunkan dari kalimat teks, bukan kekhususan sebabnya). Tapi saya kira, jika kita mempergunakan kaidah ini untuk membaca beberapa ayat yang saya sebutkan di atas, citra Islam sebagai agama yang menganjurkan kekerasan akan semakin menebal.

Mengandalkan konteks untuk membaca ayat ini dengan demikian akan sangat menolong. Setiap ayat memiliki paling tidak dua konteks: konteks penurunan dan konteks dalam teks qur’annya sendiri. Memahami konteks paling tidak akan menolong kita memahami motivasi penurunan ayat-ayat tersebut dan menjaga kita untuk tidak berbuat serampangan. Seperti kata Fazlurrahman, memahami konteks akan menolong kita menemukan “makna universal” qur’an yang harus menjadi basis bagi penerapan ayat-ayat tersebut pada saat ini.

Usut punya usut, seluruh ayat yang dikutip dalam film itu ternyata memang ayat-ayat madaniyah (diturunkan di Madinah atau setelah hijrah). Masa pasca hijrah memang merupakan waktu yang cukup kritis bagi umat Islam. Saat itu, Nabi mulai berperang berhadap-hadapan dengan orang Mekah. Puluhan perang terjadi antara komunitas muslim dengan orang Mekah. Orang Yahudi dan beberapa orang yang disebut dalam al-Qur’an sebagai orang munafik di Madinah seringkali berada di pihak orang Mekah, ketimbang di pihak komunitas muslim. Singkatnya, umat Islam saat ini dalam situasi perang yang hampir tak berkesudahan. Mempertimbangkan konteks ini, tidaklah mengherankan bila al-Qur’an menurunkan perintah menakut-nakuti musuh dengan senjata apapun yang dimiliki (Qs al-Anfal: 60), perintah untuk membunuh mereka dimana pun bertemu (Qs.Muhammad: 4), harap berhati-hati dengan orang Munafiq (Qs Annisa: 89).

Perlu dicatat, sang pembuat film memang agak menafikan konteks ayat ini. Penampilan terjemah Qs. Annisa ayat 56 mengesankan kalau umat Islam harus membakar orang kafir karena mereka tidak mempercayai tanda-tanda Tuhan. Padahal kalau ayat itu dibaca bersama-sama ayat sebelumnya, mereka tidak berbicara tentang hal tersebut, tetapi mereka mendeskripsikan pedihnya siksa neraka yang akan diterima oleh orang yang tidak percaya pada tanda-tanda peringatan dari Allah.

Menelusuri konteks ayat dan konteks penurunan memang membuat kita bisa memaklumi mengapa al-Qur’an berbicara dengan intonasi seperti itu. Memang agak sedikit menentramkan. Kita cukup berkata bahwa saat ini umat Islam tidak dalam kondisi perang, maka perintah dalam ayat-ayat tersebut tidak berlaku. Tapi menurut saya, ada tiga masalah dengan cara pandang seperti ini.

Pertama, tidak semua orang berfikir bahwa umat Islam saat ini tidak sedang berperang. Muslim seperti Imam Samudera dan kawan-kawannya berfikir bahwa dunia Islam sedang dalam perang tak berkesudahan (we are under constant attack). Maka ayat itu harus berlaku.

Kedua, kalau memang ayat-ayat itu hukumnya tidak berlaku, berarti ada banyak sekali bagian-bagian dalam al-Qur’an yang tidak berlaku saat ini, lantas mau kita apakan ayat-ayat itu? Dimoratoriumkan seperti usulan Tariq Ramadan untuk ayat-ayat Hudud?

Ketiga, kalaupun seandainya kelak terjadi perang, akankah resep al-Qur’an yang, maaf, agak berdarah-darah itu yang akan kita terapkan untuk menghadapi musuh? Saya agak ragu dan tidak mau.

Saya masih percaya bahwa al-Qur’an shahih li kulli zaman wa makan. Karena itulah, saya agak keberatan dengan tesis bahwa ayat-ayat itu tidak berlaku saat ini. Saya percaya bahwa Islam rahmatan lil alamin dan anti kekerasan. Perlu ada metode penafsiran yang bisa mengakomodasi kemungkinan penerapan ayat-ayat seperti itu. Ide Fazlurrahman mungkin menarik, tapi pesan universal apa yang bisa kita tarik dari ayat-ayat bernada kekerasan tersebut? Pe-eR kita bersama dengan demikian untuk metode penafsiran yang tidak membuat ayat qur’an terkesan tak relevan dan pada saat yang sama membuatnya berlaku tanpa harus membuat pertumpahan darah? Sementara itu, ide moratorium mungkin perlu dipertimbangkan.

Fitna: Antara Propaganda anti-Islam dan Representasi Realita

Oleh M. Syahril Sangaji

Tepat 20 tahun, sebuah informasi sesat kembali mengguncang dunia Islam. Setelah Salman Rushdie menggegerkan dunia dengan buku Ayat-Ayat Setan pada tahun 1988, kini Fitna, sebuah film dokumenter karya anggota parlemen Belanda, Geert Wilders kembali menampar wajah Islam dan bahkan memicu perdebatan di dalam masyarakat Belanda sendiri. Lalu kenapa Wilders begitu gigih membuat dan mempublikasikan film dokumenter yang justru telah ditolak pemutarannya dari dalam negerinya sendiri? Lalu bagaimana juga seyogyanya umat Islam menyikapi film dokumenter tersebut? Tulisan ini akan mencoba mengupas dua pertanyaan penting tadi dengan menggunakan pisau analisa tekstual (textual analysis) terhadap film Fitna.

Konteks
Menurut Alan Mckee (2003), konteks merupakan aspek penting yang akan membantu kita menganalisa sebuah “teks” (baca; film). Elemen-elemen dalam konteks ini termasuk situasi atau kebutuhan tertentu yang mendorong anggota parlemen Wilders menulis teks Fitna kemudian memproduksinya. Juga yang tak kalah penting untuk diteliti adalah siapa Wilders ini dan siapa target audiensnya. Elemen-elemen yang mengelilingi pembuatan film ini akan memberikan kita informasi yang berguna dan dapat dipertangungjawabkan dalam menjelaskan kenapa isi dan alur film Fitna ini dikonstruksi dan dipresentasikan sedemikian rupa. Sehingga kemudian bisa kita ambil pelajaran positif dari sisi negatif yang diangkat film fitna.

Pertentangan Ideologi
Setelah peristiwa serangan 11 September 2001, isu-isu yang berkaitan dengan Islam menjadi tema sentral di seluruh dunia, walaupun sebagiannya dikemas dalam persepsi negative. Bahkan para pembuat film dokumenter berlomba-lomba memproduksi film-film bertema Islam. Serial film dokumenter seperti America at Crossroads yang dirilis PBS (Public Broadcast Service) pada April 2007, yang mana salah satu serinya, Struggle for the Soul of Islam: inside Indonesia, mengangkat cerita pergulatan Islam moderat vs. Islam radikal di Indonesia. Tema yang sama juga pernah dipotret dalam film Islam vs. Islamists garapan Martyn Burke yang ditarik dari jadwal tayang PBS karena pemerintah Amerika yang diwakili WETA (Washington Educational Training Association) dan PBS memperdebatkan cara pandang Burke terhadap Islamists (Islam fundemantalis) yang secara ideologis dianggap menguntungkan Islam.

Begitu banyaknya film dokumenter tentang Islam, tentunya tak lepas dari konteks keamanan internasional pasca runtuhnya komunis, yang oleh Barat dipersepsikan sebagai ancaman terorisme Islam. Peristiwa pemboman oleh jihadis Islam dalam satu dekade terakhir telah menimbulkan rasa cemas negara-negara Barat. Sebelum serangan 11 September, telah terjadi serangan bom terhadap kedutaan Amerika di Nairobi, Kenya dan Dar es Salam, Tanzania pada tahun 1998 yang mana sekitar 5000 orang mengalami luka-luka dan 300an orang terbunuh secara keseluruhan. Setelah peristiwa 11 September, hampir setiap tahun bom-bom diledakkan oleh kelompok jaringan Al-Qaida dengan sasaran wilayah yang dianggap sebagai simbol Barat, contohnya bom Bali 2002, Casablanca Maroko 2003, bom Madrid 2004, dan pemboman London 2005. Serangkain terror bom oleh kelompok Islam radikal ini telah ikut melahirkan suasana Islamofobia di masyarakat Barat, tentu saja termasuk di dalamnya adalah masyarakat Belanda yang diwakili oleh Wilders, sang sutradara Fitna.

Pasca kejatuhan komunisme dan Soviet, ditandai pembobolan Tembok Berlin, dunia Barat seperti kehilangan musuh utamanya sampai kebangkitan kembali semangat jihad Islam di seluruh dunia yang dipelopori oleh kelompok Islam fundamentalis. Oleh Phares (2007), kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan turunan-turunannya walaupun sering berbeda dan berubah-ubah, tetap saja mereka memiliki satu tujuan, yakni memotong demokrasi sampai ke akar-akarnya. Oleh Islamis, demokrasi dianggap sebagai produk buatan manusia oleh karenanya tidak kompatibel dengan syariat Islam yang merupakan ciptaan Allah atau Allahucracy. Semangat kebangkitan Islam ini yang kemudian oleh Barat diterjemahkan sebagai ancaman baru terhadap ketentraman dunia. Islam pun digeneralisir sebagai ideologi tandingan dari demokrasi Barat yang perlu dimusuhi. Tesis clash of civilization-nya Huntington pun seperti terbukti telah menjadi kenyataan, Islam kini berbenturan dengan Barat.

Wilders dan Islam
Walaupun terlahir sebagai keturunan Kristen-Yahudi, Geert Wilders bukanlah seorang penganut agama tertentu alias Atheist. Wilders diyakini mulai terekspos dengan Islam secara langsung ketika ia mengunjungi Iran di tahun 1999 dalam tugas kenegaraan ketika diperbantukan tugas di parlemen. Pada tahun 2004, Wilders terpaksa cabut dari partainya People’s Party for Freedom (VVD) karena tidak setuju dengan kebijakan partainya yang menyetujui masuknya Turki ke dalam Uni Eropa. Tahun 2004 ini juga seorang sutradara film Belanda Theo Van Gogh yang juga pengritik keras Islam dibunuh oleh seorang imigran Islam keturunan Maroko. Rasa simpati mendalam terhadap Van Gogh sekaligus kemarahannya terhadap imigran Islam saat itu ikut membuat keselamatan jiwanya dalam keadaan bahaya. Ditambah lagi gambar kartun nabi Muhammad yang dipajang di situs web-nya semakin membuatnya diancam kelompok eksremis Islam, bahkan dalam kurun dua hari ia mendapat ancaman pembunuhan sebanyak 40 kali.

Wilders dicurigai sering membina hubungan dengan petinggi-petinggi Yahudi di Belanda, terbukti dengan penemuan intelejen Belanda yang mengatakan bahwa pada tahun 2007 Wilders secara teratur mengunjungi kedutaan Besar Israel di Den Haag.
Didapati juga bahwa akhir-akhir ini, Wilders, dalam pidato-pidatonya sering mengeluh akan semakin tumbuh suburnya Islam di Belanda, bahkan katanya jumlah masjid akan segera melebihi jumlah gereja di Belanda sebelum masyarakat Belanda sadar. Katanya lagi jika orang Islam ingin diterima di Belanda maka mereka harus merobek sebagian ayat-ayat Qur’an yang mengajarkan kebencian dan kekerasan.

Fitna
Kepercayaan Wilders terhadap tesis Huntington bahwa Islam tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat kemudian menjadi kenyataan setelah menyaksikan serangkaian peristiwa terror atas nama Islam yang disponsori jaringan Al-Qaida dan kelompok extremis Islam lainnya terhadap dunia Barat. Kejadian-kejadian terror ini jugalah yang memperkuat teori Wilder bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan kebencian terhadap non-Muslim. Wilders mulai terlihat membenci Islam setelah kejadian Serangan 11 September. Namun, pembunuhan Van Gogh oleh seorang imigran Islam Maroko lah yang semakin meyakinkan dia bahwa Islam lewat Qur’an mengizinkan umatnya menggunakan kekerasan kepada non-Muslim.

Pengalaman-pengalaman buruk Wilders dengan Islam yang diungkapkan dalam kalimat provokatif dan nada kebencian di atas akhirnya ia lampiaskan dalam karya dokumenter yang ia beri judul Fitna (Fitnah). Apa yang ia terima selama ini mengenai informasi Islam adalah melalui pengalaman-pengalaman buruknya berhadapan dengan ekstremis Islam. Lalu ia tampilkan akumulasi pengalaman dan kesaksian buruk tersebut dalam sebuah persepsi Fitna, sebuah dokumenter propaganda anti Islam.

Lesson Learned
Wilders meyakini bahwa Islam yang ia tampilkan dalam Fitna adalah benar adanya karena mampu dibuktikan dengan gambar-gambar dan rekaman video yang memperlihatkan kekerasan dan kebencian umat Islam terhadap Barat, Yahudi dan Kristen. Bahkan ayat-ayat suci Al-Qur’an pun dijadikan sumber legitimasi kebenaran film Fitna bahwa Islam sama dengan kekerasan. Lalu apa reaksi umat Islam setelah melihat atau mendengar cerita film ini. Apa yang perlu dilakukan umat Islam Indonesia ketika membaca seruan Wilders di akhir filmnya “stop islamization!” dan “the Islamic ideology has to be defeated now.”

Reaksi dan tanggapan yang paling elegan dari umat Islam tentunya bukan dengan cara meneror mereka yang terlibat dalam pembuatan film berdurasi 16 menit tersebut, lalu mengancam akan membunuhnya. Bukan pula dengan cara berdemonstrasi dan membakar bendera Belanda atau mensweeping turis-turis Belanda di jalan-jalan. Tentulah ini bukan cara yang Islami. Jika cara-cara kekerasan yang dipilih sebagai reaksi terhadap Fitna maka Wilders dan para Islamofobia di Barat akan semakin yakin bahwa Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang dipotret dalam film Fitna itu. Sebaliknya jika umat Islam mampu menunjukkan reaksi yang tidak berlebihan dan dikemukakan secara intelektual dalam menyikapi Fitna maka tesis Wilders tentang Islam menjadi gugur dengan sendirinya. Film Control Room (Jehane Noujaim) dan Reel Bad Arabs (Jack Shaheen) merupakan contoh film dokumenter sebagai counter-culture yang bereaksi elegan terhadap persepsi sempit media Barat dalam memotret Islam. Mereka berani memperkenalkan ke komunitas Barat perspektif lain yang menggugat mainstream media Barat mengenai Islam.

Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah bahwa sebagian cerita Fitna, khususnya mengenai ceramah-ceramah agama yang menyebarkan kebencian terhadap non-Muslim mungkin ada benarnya. Kenapa banyak golongan non-Muslim sering mempertanyakan kebenaran aspek kekerasan yang melekat dalam gerakan-gerakan Islam. Artinya dalam umat Islam sendiri harus belajar menerima kritik dan melakukan refleksi internal bahwa memang ada sesuatu yang salah dalam pendidikan dan pengajaran agama Islam sejak kecil. Ceramah-ceramah provokatif baik di masjid atau di tempat-tempat pengajian yang mengajarkan umat Islam untuk membenci dan memusuhi non-Muslim seharusnya bisa dicegah oleh seluruh kaum Muslimin. Istilah Islam is under attack seharusnya tidak dijadikan justifikasi mempromosikan kekerasan dalam Islam. Sehingga jangan sampai ulah segilintir orang Islam merusak tatanan nilai-nilai Islam yang universal dan rahmatan lil ‘alamin.

Wednesday, March 26, 2008

Grogi Mendominasi Peserta “Public Speaking Skill”

Begitulah grogi menjadi menu utama "makan siang” para peserta workshop Public Speaking and Interaction Skills Permias Ohio bersama Eko Junor. Workshop yang berlangsung di Baker Center selama dua hari ini (25 & 26 Maret 2008) baru saja selesai dengan antusiasme luar biasa para peserta.

“Saya ingin terlihat dewasa pada saat diperlukan,” Arin, presiden Permias menjawab Eko Junor soal harapan terhadap pelatihan workshop ini. Lain lagi dengan Efka dengan nada kesal katanya, “kalo saya nervous pasti bawaannya jadi jutek banget.” Sebagian besar peserta berkeluh kesah dengan rasa grogi yang mereka alami saat presentasi atau ketika jadi MC. Membuang rasa grogi, adalah harapan terbesar yang ingin dicapai peserta. Tetapi Brian justru punya harapan lain. “Bisa gak yah saya terlihat lebih smart ketika tampil bicara di depan umum?" Tanya Brian penasaran. Sedangkan Arin punya cara sendiri mengatasi groginya. “Kalo grogi saya sering mengatasinya dengan ketawa ketiwi padahal itu gak penting,” imbuh Arin. “Lho bisa saja itu penting! belum tentu apa yang kita rasakan tidak penting dilihat orang sebagai tidak penting juga” potong Eko. Oleh karenanya peserta diminta harus sedari awal bisa membedakan antara what people see and what we feel. Dan ini hanya bisa didapat dengan cara practice dan practice, yakni harus berani menerima atau mengambil tawaran ketika ada kesempatan bicara di depan umum. Practice inilah yang akan melahirkan keterampilan berbicara. Langkah awal dan paling mudah untuk practice adalah saat kita berbicara dengan orang yang baru kita kenal. Inilah ajang mengasah ketrampilan berbicara kita. Oleh karenanya latihan di depan kaca sangat tidak dianjurkan dalam workshop ini sebab beribicara di depan kaca hanyalah melibatkan satu orang, diri kita sendiri.

Gak usah khawatir kalo grogi! kata suami Mira Junor ini memberi motivasi kepada peserta. Semua orang mengalami grogi. Grogi adalah kewajaran yang menghampiri semua orang saat berbicara di depan umum. Bahkan MC atau presenter yang kita lihat di televisi pun mengalami grogi. Banyak MC televisi yang juga adalah pemalu dan pendiam bahkan kadang mereka dalam mood yang berbeda dengan apa yang terlihat di televisi. Tapi mereka dengan cepat bisa switch on their expressions tergantung situasinya. Sebab memang mereka sudah terlatih untuk itu. Tidak mungkin ketika MC lagi bete atau lagi sedih terus membawakan acaranya juga dengan sedih dan bete. Mood sedih dan bete itu cukup dirasakan oleh kita sendiri, audiens tidak perlu tahu dan emang gak pengen tahu, tambahnya memberi contoh. Begitu juga dengan grogi. Grogi itu cukup ada di dalam diri kita saja, untuk dirasakan saja tapi tidak untuk ditunjukkan. Grogi itu alamiah dan tidak ada obat yang bisa menyembuhkan. Akan tetapi kita bisa meminimalisir grogi dengan cara mengendalikan gejala-gejala grogi. Menurutnya nasihat yang paling baik adalah kita jangan pernah pikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, tetapi harusnya kita pikirkan apa yang orang lain inginkan.

Setelah mendapat wejangan materi-materi public speaking plus tips and tricks di hari pertama, tiba giliran peserta mempraktikannya di depan kamera pada hari kedua. Peserta Workshop diminta berbicara di depan kamera selama 3 menit dengan tema yang dipilih masing-masing. Mulai dari tema keluarga, film, promosi pariwisata daerah sampai ke CinTa Laura pun dibawakan peserta dengan gaya khas masing-masing. Sehabis peserta mempresentasikan materi cerita mereka, evaluasi pun dilakukan Eko Junor dengan memutar kembali rekaman video presentasi peserta. Gejala grogi yang paling sering dijumpai adalah repetitive movement atau gerakan tangan yang berulang-ulang yang kadang tidak sinkron dengan kata atau kalimat yang diucapkan saat itu. Memegang catatan dan sesekali memasukan tangan ke dalam kantong celana adalah bagian dari upaya menyalurkan rasa grogi yang memang diperlukan, demikian saran Eko yang juga pernah melatih beberapa presenter televisi nasional dan penyiar radio di Indonesia. Gejala grogi lain termasuk kontak mata antara presenter dengan penonton. Secara tidak sadar beberapa peserta ketika berbicara seringkali bola mata hitamnya terlihat ke atas atau ke bawah. Ini yang tidak boleh terjadi saat kita berbicara di depan umum karena audiens kita akan merasa dicuekin atau justru kita terlihat sedang mikir atau malu, ucap trainer yang sedang kuliah di jurusan Ilmu Politik ini. Strategi yang paling bagus untuk mengatasi gejala grogi ini adalah dengan menggunakan mata zombie. Koq mata zombie! Nah, mata zombie itu adalah ketika bicara mata kita seolah-olah melihat ke arah penonton, tetapi kita tidak perlu memperhatikan secara detail ke arah mereka, tambahnya memotivasi.

Walaupun waktu telah menunjukkan pukul 5 sore, masih ada materi yang tersisa dalam pelatihan yang telah dimulai sejak jam 1 sampe jam 5, sehingga ditambah lagi satu jam. Sisa waktu ini pun dipakai untuk mencover beberapa materi, khususnya tentang MC. Akhirnya, semangat dan motivasi ingin belajar tampil di depan umum oleh teman-teman Permias membuat waktu enam jam pelatihan di hari kedua itu berjalan begitu cepat bahkan terasa kurang.

Monday, March 24, 2008

Kunjungan Keluarga Pak Imam Prasodjo di Athens

Ungkapan terima kasih duiluncurkan secara bertubi-tubi kepada keluarga Pak Imam Prasodjo yang telah menyelenggarakan acara makan-makan buat anak-anak bala Permias Athens dengan sukes luar biasa. Contohnya ucapannya berikut ini: Dear Bapaknya Dila, Ibunya Dila, Rauf, & (tentunya) Dila,....Terima kasih atas undangan makan malamnya hari ini. Mudah-mudahan acara berkumpul bersama (baca: makan-makan) seperti ini dapat terus dilestarikan, selalu dan selamanya (Niken).

Yup! tadi malam (Minggu, 23/03/08) seiring dengan kedatangan keluarga Pak Imam Prasodjo di Athens, seluruh penduduk Indonesia (yang di Athens) berkumpul bersama di rumah Bu Elizabeth Collins untuk Potluck. Acara tersebut juga dijadikan sebagai ajang perpisahan buat Dana yang akan kembali ke Indonesia esok harinya. Dana pulang dalam rangka kelahiran putra pertama dari istri pertamanya.

Seperti biasanya, acara dimulai dengan makan-makan bersama, kemudian ngobrol, dan dilanjutkan dengan nonton film bersama. Kebetulan dirumah Ibu Collins tersedia TV layar lebar dengan sound system Bose yang suaranya super-duper luar biasa. Kali ini film yang ditonton adalah film China berjudul "Kungfu Hustle"; jadilah acara nonton film bersama itu serasa nonton di bioskop. chz


Thursday, March 13, 2008

Puisi Siang Bolong Bersama Prof. Harry Aveling

Masih dalam rangka menyambut ulang tahun Southeast Asia yang ke-40, beberapa warga Permias Athens yang dimotori oleh mantan ketuanya, Farid Muttaqin, sengaja menculik Prof. Harry Aveling untuk diajak makan siang bersama. Acara makan siang dilaksanakan secara terbatas di restoran China Fortune pada hari Selasa, tanggal 12 Maret 2008.

Harry Aveling adalah pengajar di sastra La Trobe University, Australia yang juga merupakan Visiting Professor of Linguistics and Southeast Asian Studies di OU. Beliau khusus datang dari Australia sebagai salah satu panelis dalam acara ulang tahun Southeast Asia Studies Program. Beliau banyak menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia dan Melayu dan beberapa buku karyanya kini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Informasi lebih lanjut mengenai beliau bisa dilihat di link ini: http://www.latrobe.edu.au/socsci/staff/aveling/aveling.html

Atas permintaan dari Chozin, dalam kesempatan acara makan siang tersebut, Pak Harry Aveling sempat membacakan beberapa sajak karya Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono. Rekaman saat beliau membacakan puisi di depan anak-anak Permias dapat dilihat dalam link youtube berikut ini (rekaman oleh Adrian Budiman):

http://www.youtube.com/watch?v=rOQ5DSMo7oU
http://www.youtube.com/watch?v=TTbFnI-CY_U

Farewell Party dengan Eka: Merayakan Keragaman

"....I thank YOU PERMIAS-Athens 2006-2008 for the wonderful, loving and safe community that you have created for me. .....I am gonna miss you so much as soon as I get on the airplane this Sunday. But please, keep Athens fabulous, loving and safe for people like us. Because we could be strangers you meet at the library, your teachers, you class mates, your best friends, your brothers and sisters...And you don't want to hurt them. With Love and Respect". (Eka)

Kalimat yang ditulis khusus oleh Eka dengan warna Pink tersebut menandai perpisahan Eka dengan seluruh warga Permias Athens pada Minggu (16/03/08) lalu. Malam itu, seluruh teman dan handaitaulan secara khusus memadati apartemen RiverPak 1027 untuk merayakan farewell party dengan Eka; sebab esoknya Eka akan segera pindah ke Washington DC setelah sukses menyelesaikan studinya di OU.

Acara perpisahan tersebut berlangsung dengan sangat meriah. Tamu yang datang bukan hanya mahasiswa Indonesia akan tetapi juga kolega-kolega Eka dari berbagai bangsa. Bahkan, sebagai kenang-kenangan, masing-masing group mewakili kebangsaanya menyanyikan lagu secara khusus buat Eka.

Selamat jalan Eka, semoga sukses menempuh hidup baru di Washington DC. Jangan lupa untuk kembali berkunjung ke desa Athens yang damai ini. Kami semua akan merindukanmu. Rindu kami padamu layaknya rindu gurun kepada hujan....halah..>!
Foto2 acara by Ryoko, klik di sini

Wednesday, March 12, 2008

PERMIAS dapat Funding dari ISU sebesar $1.580 untuk kegiatan Spring 2008

Laporan dari Brian Arieska

Kabar berita gembira, bahwasanya proposal kegiatan Permias Spring Quarter 2008 telah berhasil mendapatkan persetujuan dari ISU (International Student Union) untuk mendapatkan funding sebesar $ 1.580,00 (seribu lima ratus delapan puluh dollar). Keputusan resmi lolosnya proposal tersebut dilangsungkan dalam voting oleh General Body ISU yang diselenggarakan pada hari Senin, 9 Maret 2008 di Baker 240.

Adapun rincian besaran dana yang disetujui oleh ISU untuk proposal kegiatan Permias Spring 2008 adalah sebagai berikut: pembelian kostum Saman: $1000, pembelian rebana: $200, biaya pembelian utensils, glass, refreshment (traditional) : $346.

Kegiatan Permias Spring 2008 akan difokuskan pada dua hal: pembelian baju tari saman & rebana dari Indonesia (yang nantinya akan jadi hak milik Permias, namun akan di-maintain oleh OVIC, Ohio Valley International Council) dan kegiatan pelatihan seni tari untuk seluruh warga OU (yang berminat) setiap hari jumat (April 11, 18, 25, dan Mei 2, 9, 16, 23, 30) di gedung Gordy 109.

Sunday, March 09, 2008

Dinner Bersama Alumni Permias

Athens (08/03/08). Menyambut para alumninya yang datang dalam acara 40th Anniversary of Southeast Asian Studies Program, Permias secara khusus mengadakan acara dinner bersama. Acara yang diadakan di restaurant China King itu menghadirkan beberapa alumni Permias diantaranya: Mbak Meta, Mbak Ester, Mbak Amelia, Mbak Aya, Mbak Tiwi, Mas Rudi, dan Pak Yojo. Satu alumni, Pak Iqbal, tidak bergabung dikarenakan sedang ada acara lain.

Acara juga diisi dengan kenalan oleh masing-masing anggota Permias yang dipimpin langsung oleh President Permias, Arin. Menurut Arin, “…seneng banget rasanya bisa ngumpul bareng2 sama mba2 alumni yang ternyata masih pada berjiwa muda...”

Malam itu, China King benar-benar dibuat heboh, karena setelah dinner, acara disambung dengan acara ulang tahunnya Sekretaris Permias (Ita) dan juga Eka. Tiupan lilin ulang tahun benar-benar menandai okupasi Permias terhadap China King malam itu, karena setelah itu kegaduhan oleh warga Permias menjadikan para tamu-tamu China King pada hengkang. “Walopun diluar badai salju menerpa..gak ada yang bisa ngalahin kehebohan di dalem China King...”, kata Bu President

Berikut adalah testimony oleh salah satu alumni yang sempat hadir dalam acara tersebut:

Terima kasih atas jamuan mangkan malamnya semalam di China King yang dulu namanya China Garden dan Yun's Palace (ini sejarahnya). Tempat ini dulu tempat beli makanan ekonomis yang kiloan itu. Rasanya nggak berubah setelah 5 tahun yang lalu. Dulu, biasanya aku beli dengan menu: Nasi, donat, buncis saute dan sedikit sayur or brokoli (nggak nyambung to?) yang penting mbayarnya sekitar 2 dolaran buat makan siang. Dimakan di Baker sambil ngelamun kalau makan siang di Indonesia lebih enak daripada itu dan lebih murah hehehehehe.

Ternyata, dalam pertemuan malam itu dunia terasa sesempit daun kelor bahasa Inggrisnya it's a small world bahasa Jepangnya semai sekai dan lagunya sering diputar di Disney World. Semuanya serba terkoneksi. Eka adalah adik kelas di UGM bedanya 10 tahun angkatan (tuwek bener ye, aku). Sandra adalah rekan sesama PCMI, Ita pegawai Diknas yang pernah melayani (walah, melayani.... sorry, istilahnya apa coba?), Arin bokapnya pernah ketemu aku di Bandung bosnya KLN, Diknas. Harap maklum, sebagai pegawai negeri kelayapannya daerah Diknas. Baik yang nyari beasiswa, nyari dana, kenaikan pangkat dan lain-lainnya. Kebetulan bukuku juga disponsori oleh BU-nya Diknas. Sisanya, belum dieksplor dengan baik dan benar, mungkin kalau dieksplor mungkin ketemu tetangga lama, lho. What a small world!

Dan jangan lupa bahwa alumni kayak kita ini, jangan salah, selalu membuat keributan dan kehebohan di mana-mana. Bayangken, si Anthony aja nggak nyangka bahwa ternyata kami (Meta dan Iqbal) masih muda-muda begini, keren-keren lagi (kalau yang ini tak tambah2in sih...) Nggak tahu bayangannya, kita kayak apa ya? Lebih akademikus gitu ya? Gimana sih akademikus itu? Kata Amel sih, aku sudah memenuhi kriteria itu: Pengajar, berkacamata, punya buku....Halah. Sok, imut. Meski ibu-ibu, tapi kami adalah alumnus funky and gaul dan tepatnya alumnus OU penggemar masak memasak. Jadi jangan salah. Mungkin gelar kami sebaiknya adalah Masak Ahli. Jangan tanya ilmu tentang Asia Tenggara. Mas Putut tahu persis, kita bukan pelajar yang serius. Huahahahaha. ...Tapi kita sangat serius dalam becanda (Maaf, kami tidak membuat kalian bangga ya sebagai pelajar OU? hehehe). OK then, ada ada bulan ada hiu. Ketemuan lagi yuuuks (apa pula ini...). Meta

40th Anniversary of Southeast Asian Program

Celebrating the 40th year of Southeast Asian Studies Program Anniversary, Ohio University’s held unique 40-year history in Southeast Asia focus on “40 Years of Engagement with Southeast Asia” conference. The conference celebrated Ohio University’s national prominence in the field of Southeast Asian Studies and recognize contributors to the program’s growth and success.
Laurie Sears, Professor of History and Director of the Southeast Asia Center at the University of Washington, gave the keynote address - “Twenty-first Century Area Studies: Between Cosmopolitanism and Diaspora” - on Friday, March 7 at 3:00pm in Walter Hall 145.
A dinner for conference guests followed in the Ping Center Lounge, hosted by the Southeast Asian Studies Association (SEASA), with special guests President Emeriti Dr. Charles Ping and Dr. Vernon Alden.
Roundtable discussions was the format of the conference sessions on Saturday, March 8 which inviting SEA alumni to present their experience after graduation. (source: http://www.internationalstudies.ohio.edu)
Here is panelist profiles:

the 40 Years of Engagement with Southeast Asia

LIFE AFTER SOUTHEAST ASIAN STUDIES

9:30-11:00 – Multicultural Center Multipurpose Room

Alumni Panelist Profiles

Meta Astuti meta_mks@yahoo.com – Class of 2003
Meta is now a lecturer in the Hasanuddin University (UNHAS) Japanese Studies Program and head of the Japanese Culture Research Center. She teaches Japanese language including writing, grammar and etc… and also teaching cross cultural studies such in Japanese studies, Japan-Indonesia relations and Japanese sociology. On occasion, she has also taught East Asian History and Southeast Asian History for the UNHAS History Department. Meta has a keen interest in Japanese language teaching methods and has presented a paper at the Southeast Asian Summit on the Japanese Language Education in Bandung in 2006 and at the International Seminar for Japanese Education in 2007. Her first book Apakah Mereka Mata-Mata: Orang Jepang di Indonesia 1868-1942 (Are they Spies? Japanese in Indonesia 1868-1942) was recently published by Ombak Publisher in January 2008. http://www.facebook.com/album.php?aid=13624&id=541248049 She has also published participatory maps - Green map of Buton Castle and Trail map of Buton Castle - in 2004 in collaboration with The Japan Foundation in Jakarta and the Royal Netherlands Embassy. She is currently actively involved in ASPBJI (Association of Japanese Teacher in Indonesia) as head of South Sulawesi chapter, PPIJ (Japan-Indonesia Friendship Association) as Secretary of South Sulawesi chapter, PERSADA (Japanese Alumni Association) as an active committee member, and BPPI (Indonesian Heritage Society) as a council member.

Michael Byron BYRON@Juniata.Edu – Class of 1987
Michael is Associate Professor of Education in the Education Department at Juniata College in Huntingdon, PA. He teaches a Social Studies methodology course for elementary education majors and supervises elementary and early childhood student teachers. He is the Certification Officer for the Education Department and also serves as the Title II Program Representative.

Heather Slough Catton hcatton@sfasu.edu – Class of 1996
Currently, Heather is the Assistant Director of Research and Sponsored Programs at Stephen F. Austin State University in Nacogdoches, Texas. This is the 'grants office' where faculty and staff come for help in writing proposals and managing their externally funded projects - research, etc. She has been in this position for six years. Prior to her current position, she worked for an international public health NGO in Washington, DC (PSI) where she was the new business development manager (proposal/grant writing) and an associate program manager for West and Central Africa programs (she also has a degree in French).

Amelia Hapsari cahapsari@yahoo.com – Class of 2005 (Telecommunications)
After graduating from OU, Amelia took some time to do a freelance job with the International Organization for Migration, which was training the Indonesian National Police about Human Rights and Community Policing. She worked with them for about 3 months as a course reporter. Her task was to record the dynamics of the training, create a report, and make necessary suggestions to improve the training. Since then, she has been working for China Radio International for 2 and 1/2 years. Her task is to polish Indonesian language news and to create radio features about China and Indonesian-China relations that are suitable for an Indonesian audience. The experience in China has been very interesting because it is a state-media apparatus of Chinese government.

John Morgan johnintorrance@webtv.net – Class of 1977
John is currently a high school social science teacher in California. He has been happily married for 32 years. He and his wife have an apartment in Papar in the Malaysian state of Sabah and travel back and forth to Malaysia often. He speaks Malay and is currently learning Kadazan, a language spoken in North Borneo.

Nurhaya Muchtar ayamuchtar@yahoo.com – Class of 2005 (Communication and Development Studies)
Nurhaya is currently a second year doctoral student of Communication and Information in the University of Tennessee, Knoxville. My concentration is Journalism and Electronic Media. Following her graduation from the Communication and Development Studies program in 1995, she worked for Voice of America in Washington DC prior to pursuing doctoral studies.

Karla Schneider schneidk@ohio.edu – Class of 2002
While in the Southeast Asian Studies graduate program, Karla was a political office intern at the American Embassy in Kuala Lumpur, Malaysia, and conducted field research with Aliran, a human rights NGO based in Penang, Malaysia. She wrote her thesis on the intersection of politics and government with human rights work in Malaysia, specifically focusing on how the creation of SUHAKAM impacted the ability of human rights NGOs to enact change. Karla has worked in the Center for International Studies at Ohio University since graduating in 2002. She was Assistant Director of Southeast Asian Studies from 2002 until spring 2007. As Assistant Director of the program, Karla was responsible for grant management and reporting, organizing conferences and lecture series, representing the program at Title VI and other US Department of Education meetings, and providing general assistance to the program’s students and faculty. Karla is now Assistant Director of the Center for International Studies which entails managing communications and publicity needs for the Center’s five graduate programs, undergraduate program and outreach program, organizing the weekly International Studies Forum series, serving as the Center’s Budget Unit Manager, and acting as the campus coordinator for the PING and MUSKIE fellowship programs. She supervises the Peace Corps Recruiting Office on campus and maintains her connection with Southeast Asia through her role as Coordinator of the Tun Abdul Razak Distinguished Professorship program in affiliation with the Office of the Associate Provost for International Programs and as an international recruiter for Ohio University.

Esther Sianipar juniariana@yahoo.com – Class of 2001
Esther joined the IndoPacific Edelman team as a Sr. Consultant in January 2008 in the government relations, corporate and public affairs. Esther handles crisis management and litigation communication strategy. Prior to joining IndoPacific Edelman, Esther was Specialist Staff on Foreign Affairs for Commission I (Commission of Foreign Affairs, Defense & Security and Informatics & Communication), House of Representatives - Republic of Indonesia (DPR-RI) where her responsibilities included preparing numerous formal political speeches, and political as well as analytical research papers on related government policies, amendments, international and national policies and affairs, networking, and generating stakeholders. Esther has also worked for an international NGO, Johns Hopkins University, Center for Communication Programs of Coalition for Healthy Indonesia (Koalisi untuk Indonesia Sehat, KuIS) based in Jakarta where she was entrusted to develop strategic communication and business plan on public health in Indonesia, generate grants targeted at various stakeholders, philanthropy organizations and business communities and administer advocacy on public health issues. Immediately after graduation, Esther worked for the Program for Southeast Asia Studies at Arizona State University, Tempe, AZ as the Outreach Coordinator where she recruited and advised students, organized media outreach, series of lecturers, conferences, trainings, and workshops and other direct communication and marketing programs.

Nick Zefran nvzefran@aol.com – Class of 1989
Nick currently works for the federal government as Director of Member Services for the National Civilian Community Corps. The program has been described as the domestic Peace Corps, a program for 18-24 year olds who want to give back to communities here in the USA. It's a residential, team based program that responds to disasters, human needs issues, fire fighting and the environment. The MAIA program provided him the impetus to spend 14 years working in the refugee camps of Southeast Asia. He worked in the refugee camps in Indonesia, Thailand, Philippines and Hong Kong from 1979 -1994.

Tuesday, March 04, 2008

Acara Perpisahan Untuk Song

Oleh Muhammad Chozin

Bertempat di Baker Center 231, Rabu (5/3/2008) PERMIAS secara khusus menyelenggarakan acara diskusi dalam rangka perpisahan Song yang akan kembali ke Korea Selatan tanggal 11 Maret 2008 ini. Dalam acara diskusi terbatas tersebut, Song yang bernama lengkap Seung Won Song mempresentasikan disertasinya yang bertemakan Pancasila.

Menurut pengusul acara, Putut Wijanarko, PERMIAS perlu memberikan apresiasi secara khusus kepada Song mengingta amat sangat sedikit sarjana asing yang mempelajari Pancasila. Ditambah, Song adalah warga Korea yang mempelajari Indonesia.

Selain para mahasiswa Indonesia, nampak hadir juga direktur Program Southeast Asian Studies, Prof. Gene Ammarell. Selesai diskusi, acara dilanjutkan dengan makan malam bersama Song di restauran langganan warga Permias, Buffalo Wings. Song bisa dihubungi via email: swsong@hotmail.com.

Sunday, March 02, 2008

Final Indonesian Badminton Tournament 2008


Akhirnya, setelah melewati perjalanan panjang yang penuh halangan dan rintangan, para perempat finalis single dan semifinalis double Indonesian Badminton Tournament 2008 (IBT-2008) melanjutkan aksinya untuk menjadi yang terbaik dalam dunia perbulutangkisan se-Athens.

Pada pertandingan perempat final single muncul nama-nama baru yang meramaikan perbulutangkisan kota Athens. Sebut saja Valhan, pendatang baru Permias ini mampu mengalahkan Farid, salah seorang pemain senior dalam perbulutangkisan Athens, untuk melaju ke semifinal. Kejutan lainnya datang dari Dana. Pemain yang tidak diunggulkan ini mampu mengalahkan Il Sangaji, salah satu pemain bulutangkis veteran yang juga merupakan finalis tahun lalu. Dana, tanpa perlawanan yang berarti dari Il Sangaji, mampu melaju kesemifinal. Dua orang semifinalis lainnya adalah Peter yang mengalahkan pemain muda Denmark Troels Nielsen, dan Anton yang langsung melaju ke semifinal tanpa bertanding karena Tiwi telah mundur sebelum bertanding.

Seperti telah diprediksi sebelumnya, Anton dan Peter melaju ke final. Anton berhasil mengalahkan Valhan dua set langsung. Valhan, yang sedang dalam kondisi terbaiknya, pada awal-awal pertandingan mampu melayani permainan Anton. Namun, kondisi fisik dan pengalaman juga yang akhirnya berbicara. Anton berhasil mengalahkan Valhan. Di pertandingan semifinal lainnya, Peter yang telah banyak makan asam garam di dunia perbulutangkisan Athens mampu mengalahkan Dana dengan skor yang cukup telak.

Difinal, Anton berhasil mengalahkan Peter dan mempertahankan gelar juara single dari tahun lalu (ya iyalah....dia yang paling jago.......). Peter yang rencananya akan mundur dari dunia perbulutangkisan Athens karena tahun ini merupakan tahun terakhir dia di Athens, merasa sangat senang karena mampu melaju hingga final, walaupun ia belum dapat mengalahkan Anton.

Pada semifinal double, pertandingan antara Il/Tapos melawan Anton/Michael merupakan pertandingan yang sangat "rame". Rame, karena selama pertandingan kedua tim terus saling ejek untuk menjatuhkan mental lawannya. Pertandingan yang diwasiti oleh Gugun ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Il/Tapos. Pada pertandingan lainnya antara pasangan Valhan/Brian dan Peter/Fuh, pertandingan berjalan cukup ketat. Namun, pasangan Valhan/Brian belum mampu mengalahkan pasangan Peter/Fuh.

Difinal, Peter/Fuh berhadapan dengan pasangan Il/Tapos. Awalnya pertandingan berjalan cukup ketat, namun Fuh sering kali membuat kesalahan yang merugikan timnya. Karena sistem yang digunakan adalah rally point, maka setiap kesalahan yang dilakukan oleh pemain menjadi keuntungan (point) bagi lawannya. Akibatnya, pasangan Il/Tapos keluar sebagai juara untuk kategori double.
Pada tournament kali ini Peter menyabet dua gelar sekaligus, runner-up single dan double.

Tournament ditutup oleh pembagian "piala" dan hadiah yang diserahkan oleh Ibu Presiden Permias, Ketua Pelaksana IBT 2008, dan Koorlap IBT 2008 dan ditutup dengan foto bersama.

Bimbim ULTAH, Undang Makan-makan Laghe......

Berbagai jenis dan model ucapan terima kasihpun diluncurkan oleh para anggota permias seiring dengan selesainya acara makan-makan seri kedua di rumah keluarga Bimbim-Anggi. Ya,...Sabtu malam Minggu (3/1/08), Bimbim family kembali mengundang folks Permias Athens makan malam bersama dalam acara syukuran ulang tahun Bimbim yang ke-31.

Sebelum makan-makan, acara diawali dengan berbagai sambutan dan ucapan selamat ulang tahun oleh Permias (diwakili oleh President), Pak Yojo (sesepuh kota Athens), dan beberapa kawan sejawat yang lainnya. Beberapa bingkisan ulang tahun juga langsung mengalir kepada Bimbim: Pak Yojo dengan coklat berbentuk hati, Lina Cs dengan kue ulang tahunnya, Eka dengan sumbangan lagu khusus Valentine-nya, dan juga pasangan Unie-Adam dengan bingkisan minuman khasnya. Sementara warga Permias yang lain cukup dengan mengumpulkan tanda tangan dalam sebuah kartu ucapan Ulang Tahun (biasa, gak modal....he he he!).

Seperti biasa, selesai makan-makan acara dilanjutkan dengan bertukar guyonan dan banyolan khas ala Permias. Seperti biasa bintang-bintang nge-banyol seperti Nelly, Sandra, dan Farid menunjukkan kebolehannya mengocok perut. Hebatnya, kali ini muncul bintang nge-banyol baru asal Surabaya bernama Manda. Saat ini, dara muda belum genap 19 tahun penggemar berat Cinta Laura ini boleh dibilang merupakan bintang yang sedang naik daun dalam belantika per-banyolan Permias. Dengan logat khas Suroboyoan-nya, kata-kata yang meluncur dari mulutnya cukup untuk menjadikan hadirin ngakak se-ngakak-ngakaknya sampai mata terbelalak dengan mulut mengangkang.

Foto-foto acara by Sandra Nahdar